Project The Trees & The Wires ini adalah program residensi dan proyek seni yang akan spesifik mengelola 2 kata kunci: alam dan jaringan. Dengan mengedapankan seni media baru yang lintas disiplin dan inklusif, proyek ini akan mengelola mitos dan arsip yang terkait dengan permasalahan lingkungan di Tulungagung sebagai situs spesifiknya.
Program residensi ini mengundang seniman multidisiplin dari Somerset (UK), Ella Chedburn. Ia dipilih karena praktik artistiknya yang interdisipliner dan sejalan dengan konsep yang diusung. Selama 2 bulan, Ia akan melalukan riset, eksperimentasi, dan presentasi. Pada prosesnya, Ella akan berkolaborasi dengan (anggota dan kerabat) Gulung Tukar, kelompok seni budaya multidisplin yang berbasis di Tulungagung. Hasil akhir dari program ini adalah pameran, pertunjukan, program publik, serta penerbitan buku yang diselenggarakan secara hybrid.
Subjek kekaryaan yang akan dikelola berada di perlintasan antara mitos, arsip, dan aktivitas manusia hari ini. Ruang lingkupnya tidak berhenti pada antroposen. Praktik sosial manusia terikat pada struktur sosial, relasi kuasa dan kelas yang ada. Untuk itu kapitalosen dipilih sebagai titik pijak berikutnya untuk melihat berbagai dampak kapitalisme yang merusak alam.
Tulungagung sebagai situs spesifik, memiliki sejarah panjang tentang pengelolaan bencana, terutama banjir. Sebagai wilayah yang dikelilingi oleh perbukitan, kota kecil di selatan Jawa Timur ini seakan menjadi seperti cawan, cekung, rawan tergenang. Penyebab bencana juga dimunculkan dalam cerita masa kerajaan, yaitu kutukan Lembu Suro yang berbunyi,”Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung dadi kedung” artinya “Kediri akan menjadi sungai, Blitar menjadi dataran, dan Tulungagung menjadi genangan-rawa”. Tapi tentu dalam perjalanan waktu, banjir tidak berhenti pada satu sebab atau kejadian pada satu masa tertentu. Masifnya ekploitasi sumber daya seperti pohon dan batuan, turut menambah faktor penyebab kerusakannya.
Upaya-upaya tercatat dengan ragam sumber dan versi; tertulis dan tertutur, dalam memitigasi banjir. Dari cerita penanaman pohon beringin (Ringin Kurung) di pusat kota yang dipercaya bisa mengakhiri banjir hingga pembangunan saluran air dan bendungan sebagai cara yang terukur secara sains. Lagi-lagi tidak berhenti pada satu masa, kejadian alam dan eksploitasi besar-besaran menambah beban yang harus ditanggung oleh solusi yang ada sebelumnya. Masyarakat pada satu masa tertentu akan dan terus menghadapi permasalahan yang berulang. Selayaknya tubuh yang bisa terserang penyakit ketika imun menurun, alam pun jua.
Hari ini, manusia berhadapan dengan kapitalisme mutakhir pada era modernitas lanjut. Globalisasi menjadi aspek utama yang berkaitan erat dengan aktivitas kita hari ini. Kecemasan menjadi hal sehari-hari yang dihadapi oleh tiap individu sebagai subjek aktif. Strategi perjuangan tiap agen saling bertemu, berbaur, dan bertabrakan dalam karakteristiknya yang cair dan terfragmentasi. Dalam studi kepemudaan, ada pergeseran perjuangan kaum muda, dari yang sebelumnya berupa tindakan perlawanan (act of resistence) menjadi tindakan keberadaan (act of existence). Pergeseran ini bisa dibaca sebagai bentuk reaksi pada era modernitas lanjut dengan fragmentasi dan globalisasinya, termasuk penggunaan internet yang memacu aktivitas generasi hari ini dalam mengkritisi sesuatu. Perlawanan tidak menguap dan hilang, tapi dihadirkan dalam eksistensi tiap subjek, baik individu atau kelompok, ketika terkoneksi dalam sebuah jaringan.
The Trees & The Wires is an art project & residency programme that will specifically manage 2 keywords: nature and network. By utilising new media art that is cross-disciplinary and inclusive, this project will manage myths and archives related to environmental issues in Tulungagung as its specific site.
This residency programme invites a multidisciplinary artist from Somerset (UK), Ella Chedburn. She was chosen because her artistic practice is interdisciplinary and in line with the concept. For 2 months, she will conduct research, experimentation, and presentation. In the process, Ella will collaborate with (members and relatives of) Gulung Tukar, a multidisciplinary cultural arts group based in Tulungagung. The end result of this programme is a hybrid exhibition, performance, public programme, and book publication.
The subject of the work to be managed is at the crossroads between myths, archives, and human activities today. Its scope does not stop at the anthropocene. Human social practices are bound to existing social structures, power relations and classes. For this reason, the capitalocene was chosen as the next starting point to see the various impacts of capitalism that destroy nature.
Tulungagung, as a specific site, has a long history of disaster management, especially flooding. As an area surrounded by hills, this small town in the south of East Java seems to be like a saucer, sunken, prone to flooding. The cause of the disaster was also raised in a royal story, namely the curse of Lembu Suro which reads, “Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung dadi kedung” meaning “Kediri will become a river, Blitar will become a plain, and Tulungagung will become a swamp”. But of course in the course of time, flooding does not stop at one cause or event at one particular time. The massive exploitation of resources, such as trees and rocks, contributed to its destruction.
Efforts have been recorded with various sources and versions; written and spoken, to mitigate flooding. From stories of planting banyan trees (Ringin Kurung) in the city centre that were believed to end flooding to the construction of waterways and dams as a scientifically measurable method. Again, it does not stop at one time, natural events and massive exploitation add to the burden that must be borne by previous solutions. Societies at any given time will continue to face recurring problems. Just as the body can become ill when its immunity drops, so can nature.
Today, humans are dealing with cutting-edge capitalism in the era of advanced modernity. Globalisation is the main aspect that is closely related to our activities today. Anxiety becomes an everyday thing faced by each individual as an active subject. The struggle strategies of each agent meet, mingle, and collide in their fluid and fragmented characteristics. In youth studies, there is a shift in the struggle of young people, from what was previously an act of resistence to an act of existence. This shift can be read as a form of reaction to the era of advanced modernity with its fragmentation and globalisation, including the use of the internet that spurs the activities of today’s generation in criticising something. Resistance does not evaporate and disappear, but is presented in the existence of each subject, whether individual or group, when connected in a network