Eksplorasi Temuan Seputar Metode Mistis dan Ilmiah untuk Mengubah Tulungagung dari Rawa menjadi Kota
Menutup sumber air, mengeringkan rawa, dan membangun peradaban di atasnya adalah pilihan para pendahulu kita. Pilihan yang memaksa setiap zaman untuk menemukan dan memutakhirkan siasat untuk mengatasi banjir. Kanal-kanal dibangun, sungai diperlebar. Bukit batu dilubangi, laut selatan menjadi kunci. Puluhan keluarga melakukan transmigrasi demi dibangunnya waduk terbesar di wilayah ini.
‘Rippling Water, Spreading Roots’ Explores our Findings around the Mystical and Scientific Methods Used to Transform Tulungagung from Swamp to City
Closing the water source, draining the swamp, and building a civilisation on top of it were choices that our ancestors made. These choices force each generation to find and update strategies to deal with floods. Canals were built, rivers were widened. Stone hills were hollowed out, the southern sea became the key. Dozens of families were relocated to build the largest dam in the region.
Titik berangkat proyek ini adalah cerita Ringin Kurung, yaitu penanaman tujuh pohon beringin di pusat kota untuk menyerap air, yang pada prosesnya dibantu oleh makhluk mitos dan kerbau putih sebagai persembahan. Dengan mengadaptasi filosofi sedulur papat, kalimo pancer, kami membuat garis imajiner yang menghubungkan situs-situs penting terkait pengelolaan banjir Tulungagung. Tempuran (pertemuan sungai Ngrowo dan sungai Brantas) di utara; Terowongan Niyama di selatan; Waduk Wonorejo di barat; dan Dam Buntaran, yang mewakili jaringan kanal, di timur Tulungagung menjadi 4 sudut yang kemudian menemani mitos Ringin Kurung. Kami membalik yang abstrak menjadi yang fisik, yang pusat menjadi yang mujarad.
At the heart of our research is the story of Ringin Kurung, where seven banyan trees were planted in the city centre to soak up water with the help of mythical creatures and white buffalo offerings. Adapting the philosophy of sedulur papat, kalimo pancer, we created an imaginary line connecting four important sites around the city centre. Each is a different method of flood management: the merging of the Ngrowo and Brantas rivers in the north; Niyama Tunnel funneling water to the south; Wonorejo Dam pooling water into a reservoir in the west; and Dam Buntaran, representing the canal system, in the east.
Selama riset ini, kami menemukan banyak sekali lapisan. Karya-karya ini mencoba untuk menghormati semua pandangan, tentang bagaimana Tulungagung mengeringkan rawa serta bermain di air keruh antara fiksi dan fakta. Jika diamini sebagai siklus dan air sebagai elemen yang harus dihormati – terlalu banyak atau terlalu sedikit akan merugikan kelangsungan hidup kita. Maka, alih-alih menjadikannya oposisi biner, yang baik dan yang jahat, di sini air dan akar beringin akan menari bersama, bertukar dominasi dan menyelaraskan satu sama lain.
We uncovered many layers of narratives during our research. Our work aims to honour all perspectives of how Tulungagung drained the swamp, playing in the murky waters between fact and fiction. We accept flooding as an inevitable cycle and water as an element to be respected – both too much or too little are detrimental to our survival. So instead of making a binary opposition of good versus evil, here the water and the banyan roots dance together, exchanging dominance and harmonising one another.
Benny Widyo Curator