Field Research #4 – Temples Track
Setelah mengunjungi beberapa situs penting yang berkaitan langsung dengan Ringin Kurung, Alun-Alun, dan Banjir Tulungagung, kali ini kami mengunjungi beberapa candi di wilayah Boyolangu, Tulungagung. Minggu pagi, kami (Benny dan Ella) mengunjungi 3 candi yaitu Candi Gayatri, Candi Sanggrahan, dan Candi Mirigambar. Karena pada penelusuran menggali cerita Ringin Kurung, kami banyak bersinggungan dengan cerita babad-sejarah Tulungagung, maka mengunjungi candi-candi yang terkait dengan kerajaan Majapahit ini memberikan tambahan bekal untuk memahami konteks sejarah kota ini. Termasuk juga jejak kolonialisme dan praktik perawatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap situs-situs bersejarah.
Candi yang pertama kami kunjungi adalah Candi Boyolangu atau Candi Gayatri yang berada di wilayah Desa Boyolangu. Candi ini sesuai dengan namanya, terdapat arca Gayatri. Candi ini merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri, nenek dari Prabu Hayam Wuruk. Gulung Tukar dan kerabat beberapa kali merespons situs ini ke dalam karya visual. Seperti pada karya kami Trimantra Duduk Bersila yang mendapatkan silver award pada Erlangga Installation Festival 2022 terinsipirasi dari candi ini. Alfiah Rahdini, pada karyanya berjudul Sri Naura Paramita yang dipamerkan di Jakarta Biennale 2021 juga kami rasa salah satu inspirasinya dari Candi Gayatri ini. Sebab, ketika dia menjadi salah satu seniman untuk agenda Layar Berkembang, Kemudi Diputar (2021) ia sempat mengunjungi Candi Gayatri untuk riset.
Satu hal yang mencuri perhatian dari Candi Gayatri ini secara fisik adalah kepala dan tangannya yang hilang. Selain itu cerita Gayatri sebagai wanita yang berperan penting dalam kerajaan Majapahit juga mengaitkannya pada isu kesetaraan gender dan feminisme. Lebih khusus jika membicarakan tentang bagian tubuh arca yang hilang, aku dan Ella mempertimbangkan dua kemungkinan. Pertama, kepala atau tangan arca tersebut menjadi koleksi, entah lembaga atau perorangan, karena pada masa penjajahan Belanda banyak bagian situs-situs bersejarah yang diambil dan dibawa ke negara Belanda. Kemungkinan kedua, patung-patung itu memang di rusak saat agama Islam mulai masuk ke Indonesia.
Kemungkinan pertama didukung karena memang banyak artefak sejarah Indonesia yang berada di Belanda, dipamerkan di beberapa museum atau disimpan di tempat khusus. Contohnya seperti fosil Homo wajakensis yang ditemukan di Tulungagung juga berada di Belanda. Museum wajakensis di Tulungagung hanya mendapatkan replikanya. Pun bukan hanya arca Gayatri di ini yang kehilangan bagian tubuhnya, tapi banyak arca di candi-candi lainnya juga kehilangan bagian tubuhnya. Sedangkan kemungkina kedua didukung oleh cerita-cerita seperti penguburan Candi Borobudur hingga serupa bukit.
Candi berikutnya yang kami kunjungi adalah Candi Sanggrahan yang saling berkaitan keberadaannya dengan Candi Gayatri. Konon, candi ini adalah tempat peristirahatan dari rombongan Majapahit yang akan menyimpan abu jenazah Gayatri di Candi Boyolangu. Gulung Tukar juga pernah melakukan pertunjukan proyeksi visual di candi ini saat perhelatan Biennale Jatim IX. Waktu itu Riduwan (Visual Jockey), Rizqi (Illustrator), dan Rama (Disk Jockey) berkolaborasi membuat karya berjudul Another Missing Light yang terinspirasi dari Candi Sanggrahan. Relief-relief yang berada di candi ini adalah hewan-hewan (mitologi) yang kemudian direspons oleh mereka ketiga ke dalam satu karya audio visual.
Ini bukan kali pertama kami mengunjungi Candi Sanggrahan, tapi ini kali pertama kunjungan kami setelah candi ini dipugar. Pemugaran candi ini berfokus pada area di sekitar candi. Seingat kami candi utama masih dalam kondisi yang baik, hanya memang area di sekitarnya beberapa sudah hancur. Jadi yang dipugar antara lain bagian tangga dan pagar-penyangga dataran area candi yang berbentuk kubus, lebih tinggi dari dataran di sekitarnya. Nampak beberapa batu-bata baru yang digunakan untuk menambal beberapa bagian mulai menyatu dengan batu-bata aslinya. Informasi tambahan yang kami dapat dari juru peliharanya yaitu bahwa batu-bata baru itu lebih cepat tumbuh lumut daripada batu-bata yang asli. Mungkin karena itu meskipun baru selesai akhir tahun lalu, batu-batanya yang baru sudah nampak menyatu dengan batu-bata yang asli.
Terakhir, kami mengunjungi Candi Mirigambar. Aku menghubungi Riza (salah satu anggota Gutu yang berasal dari desa Mirigambar) untuk menemani kami. Ternyata ketika sampai di lokasi kami juga sudah ditunggu oleh juru pelihara Candi Mirigambar. Sepertinya karena kami sempat berbincang dengan Jupel Candi Sanggarahan bahwa kami akan mengunjungi Candi Mirigambar, maka dia menginformasikan kedatangan kami pada rekannya.
Candi ini juga sudah selesai proses pemugaran, kami ingat terakhir kali melakukan pertunjukan yang disiarkan secara dari di sini dalam program Buka Kunci, Tangkap Layar (2020). Saat itu kondisi candi memang sudah sangat perlu untuk dipugar. Ketika Candi Mirigambar sedang dipugar kami juga sempat mengunjunginya dan melihat ketika batu-batu penyusun candi sedang dibongkar untuk kemudian ditata ulang. Kini kita bisa melihat hasil akhirnya, tampak lebih rapi dan kokoh. Relief-relief di candi tersebut, alih-alih dibuat baru, pemugaran hanya memasang batu-bata baru untuk menutupi bagian yang lubang/hilang. Kami merasa ini menjadi pilihan paling tepat karena kita tidak bisa memvisualkan (ulang) dengan pasti seperti apa sebenarnya relief tersebut. Membiarkannya kosong memberikan keleluasaan bagi pengunjung untuk mengimajinasikan seperti apa relief tersebut.
After visiting several important sites directly related to Ringin Kurung, Alun-Alun, and the Tulungagung Flood, this time we visited several temples in the Boyolangu area of Tulungagung. On Sunday morning, we (Benny and Ella) visited three temples: Gayatri Temple, Sanggrahan Temple, and Mirigambar Temple. As we had been exploring the story of Ringin Kurung, we had come into contact with the chronicles of Tulungagung’s history, so visiting the temples associated with the Majapahit kingdom gave us an additional insight into the historical context of the city. This includes traces of colonialism and the government’s care of historical sites.
The first temple we visited was Boyolangu Temple or Gayatri Temple in the Boyolangu Village area. This temple, as the name suggests, has a Gayatri statue. This temple is the repository of the ashes of Gayatri, the grandmother of Prabu Hayam Wuruk. Gulung Tukar and relatives have responded to this site several times in visual works. For example, our collective work Trimantra Duduk Bersila, which received a silver award at the Erlangga Installation Festival 2022, was inspired by this temple. Alfiah Rahdini, in her work titled Sri Naura Paramita which was exhibited at the Jakarta Biennale 2021, we also think one of her inspirations is from this Gayatri Temple. This is because when she was one of the artists for the Layar Berkembang, Kemudi Diputar (2021) agenda, she visited Gayatri Temple for research.
One thing that steals the attention from this Gayatri Temple physically is the missing head and hands. In addition, Gayatri’s story as a woman who played an important role in the Majapahit kingdom also links her to issues of gender equality and feminism. More specifically when talking about the missing body parts of the statue, Ella and I considered two possibilities. Firstly, the statue’s head or hand became a collection, either of an institution or an individual, because during the Dutch colonial period many parts of historical sites were taken and brought to the Netherlands. The second possibility is that the statues were damaged when Islam entered Indonesia.
The first possibility is supported because many Indonesian historical artefacts are in the Netherlands, exhibited in several museums or stored in special places. For example, the Homo wajakensis fossils found in Tulungagung are also in the Netherlands. The wajakensis museum in Tulungagung only got a replica of it. Also, it is not only the Gayatri statue here that is missing its body parts, but many statues in other temples are also missing their body parts. While the second possibility is supported by stories such as the burial of Borobudur Temple to a similar hill.
The next temple we visited was Sanggrahan Temple, which is related to Gayatri Temple. It is said that this temple is the resting place of the Majapahit entourage who will divert Gayatri’s ashes at Boyolangu Temple. Gulung Tukar also conducted a visual projection performance at this temple during the Biennale Jatim IX event. At that time, Riduwan (Visual Jockey), Rizqi (Illustrator), and Rama (Disk Jockey) collaborated to create a work entitled Another Missing Light inspired by Sanggrahan Temple. The reliefs in this temple are (mythological) animals that the three of them responded to in an audio-visual work.
This was not our first time visiting Sanggrahan Temple, but it was our first visit after the temple was restored. The restoration of this temple focused on the area around the temple. As we recall, the main temple is still in good condition, but the area around it has been broken. So what was restored included the stairs and railings supporting the cube-shaped temple area, which is higher than the surrounding area. It appears that some of the new bricks used to patch up some parts are starting to blend in with the original bricks. Additional information we got from the caretaker is that the new bricks grow moss faster than the original bricks. Perhaps that’s why even though it was only completed late last year, the new bricks are already blending in with the original bricks.
The last stop, we visited Mirigambar Temple. I contacted Riza (one of the Gutu members from Mirigambar village) to accompany us. It turned out that when we arrived at the location we were also awaited by the caretaker of Mirigambar Temple. It seems that because we had talked to Sanggarahan Temple’s caretaker that we would visit Mirigambar Temple, he informed his colleague of our arrival.
This temple has also been restored, we remember the last time we did a live broadcasting show from here in the programme Buka Kunci, Tangkap Layar (2020). At that time, the condition of the temple was in dire need of restoration. When Mirigambar Temple was being restored, we also visited it and saw when the stones that make up the temple were being dismantled and then rearranged. Now we can see the final result, looking neater and sturdier. The reliefs in the temple, instead of being made new, were only replaced with new bricks to cover the holes. We felt this was the most appropriate choice because we could not visualise (re)exactly what the reliefs looked like. Leaving it blank gives visitors the freedom to imagine what the relief looks like.
– Benny Widyo