Field Research #2 — Journey to the South

Kamis liburan, seharian kami mengunjungi beberapa lokasi di wilayah selatan. Tujuan utamanya adalah Terowongan yang berkaitan dengan banjir Tulungagung. Tapi sebelum menuju ke sana, kami mampir ke beberapa situs. Pemberhentian pertama adalah Monumen Wajakensis, sebuah monumen yang dibangun sebagai penanda area ditemukannya fosil Homo wajakensis di cerukan yang masuk dalam wilayah Wajak (sekarang desa Gamping). Di area monumen tersebut terdapat tugu dengan patung tengkorak sebagai penanda; pohon beringin besar lengkap dengan kain poleng dan sesajen yang menguatkan kesan magisnya; sebuah prasasti penanda keberadaan tambang marmer; dan taman lengkap dengan warung kopinya yang dikelola oleh warga setempat.

Ini bukan kali pertama kami mengunjungi situs ini, pada beberapa kunjungan sebelumnya kami sempat berbincang dengan warga sekitar dan melakukan penelusuran singkat. Dalam narasi sejarah populer, penemu Homo wajakensis adalah van Rietschoten, seorang insinyur pertambangan yang mengeksplorasi batu kapur dan marmer di wilayah Wajak. Nama Riestchoten tercatat karena Ia menjadi orang yang bertanggung jawab atas eksplorasi tambang batuan ketika fosil tersebut (tak sengaja) ditemukan. Tetapi, warga memiliki narasi yang berbeda mengacu pada cerita tutur setempat. Disebutkan bukan Rietschoten langsung yang menemukan, tapi warga setempat yang bekerja dalam eksplorasi atau penambangan batu kapur dan marmer. Tapi, bukankah sejarah selalu disebutkan sebagai milik pemenang atau pihak yang berkuasa? Seperti halnya kita bisa mencari tahu sebuah candi dibangun pada masa pemerintahan (raja) siapa, tapi kita tidak tahu siapa arsiteknya, apalagi pekerjanya. Barangkali hal serupa terjadi pada momentum penemuan fosil Homo wajakensis ini.

 

Sementara itu, meskipun bukan kunjungan pertama ke Monumen Wajakensis, aku baru tersadar bahwa relief dalam tugunya sangat menjijikkan. Dalam sebuah ukiran kasar pada semen/batu tersebut, tampak gambar seseorang dengan topi bundar, berseragam (serdadu) Belanda duduk di sebuah kursi. Ia terlihat tegak dan gagah lengkap dengan tangan menunjuk (gestur memerintah). Objek-ukiran pertama ini dibuat cukup detail. Di depan orang tersebut nampak ukiran beberapa orang pekerja, dengan ukuran yang lebih kecil, tanpa detail apapun. Ukiran sisanya menunjukkan gambar tengkoran dan lokasi bebatuan bukit kapur dan marmer. Sebuah visualisasi yang tepat untuk menunjukkan betapa terjajahnya kita. Bahkan dalam monumen yang dibangun jauh setelah Indonesia merdeka, kita tidak bisa melawan narasi pencatatan sejarah yang timpang tersebut. Alih-alih melawan, kita terus tunduk terjajah sejak dalam pikiran.

 

Tujuan berikutnya adalah Telaga Buret. Sebuah telaga dengan isu lingkungan dan mistisisme yang mengelilinginya. Konon, pasca reformasi, penguasaan hutan di area Telaga Buret ini tak lagi dimiliki oleh satu orang atau perusahaan, melainkan dikelola oleh Perhutani. Sayangnya, pengelolaannya tidak berjalan dengan baik, ekploitasi besar-besaran dilakukan. Bisa jadi bukan hiperbola jika dituturkan bahwa hutannya hampir gundul dan debit air di telaganya nyaris habis. Kemudian, kelompok-kelompok penghayat di desa-desa sekitar Telaga Buret menginisiasi sebuah ritual untuk menyakralkan tempat tersebut. Ritual tersebut dikenal dengan nama Ulur-Ulur dan masih dilakukan setahun sekali hinga kini. Ritual ini kemudian menjadi siasat untuk mengatasi permasalahan lingkungan di wilayah Telaga Buret. Ruang terbuka itu dikonstruksikan tak hanya sebagai tempat hidup berbagai macam tumbuhan dan hewan, tetapi juga makhluk-makhluk abstrak, mistis, mitos, dan semacamnya. Kaitannya dengan riset yang kami kerjakan, selain keberadaan telaga, kami ketahui kemudian bahwa Telaga Buret juga menjadi tempat tinggal bagi Jigangjoyo, salah satu makhluk mitos yang terkait dengan cerita Ringin Kurung.

Setelah puas menikmati rindang dan sejuknya Telaga Buret, kami melanjutkan perjalanan menuju Terowongan Niyama. Kami mulai dari sisi lubang masuk terowongan. Jalan yang kami lalui untuk mendekat ke pintu masuk terowongan adalah melalui pinggir sungai Jembatan Neyama, Besuki. Dari Jembatan itu kita bisa melihat percabangan sungai menyatu, satu aliran dari Trenggalek, satunya lagi dari Tulungagung. Sungai yang menyatu menuju terowongan itu kemudian dipecah lagi ke dalam 2 aliran, satu menuju tunnel pertama yang sehari-hari aktif digunakan untuk menyaring sampah. Terowongan kedua tertutup untuk publik karena digunakan untuk pembangkit listrik. Kami menemukan beberapa arsip terkait sejarah pembangunan Terowongan Niyama ini yang rencananya akan dipublikasikan dalam satu unggahan khusus.

Selepas dari Terowongan Niyama, kami menuju ke Reco Sewu. Situs ini merupakan padepokan sekaligus tempat peristirahatan terakhir bagi H. Soemiran, pendiri pabrik rokok Retjo Pentung yang pernah jaya di zamannya. Selain Reco Sewu, kami juga mengunjungi situs yang berada di sekitarnya seperti Palereman Nyai Roro Kidul dan Tempat Pembuangan Abu (Dermaga Gudang Garam). Melalui situs-situs ini aku menceritakan kepada Ella tentang sejarah modern Tulungagung yang terkait dengan perusahaan rokok tersebut. Yang pertama terkait tarik-ulur penggunaan Dwarapala sebagai simbol-penjaga kota Tulungagung dengan simbol-branding rokok Retjo Pentung. Pembahasan ini pernah dikerjakan oleh pasutri seni FJ Kunting & Durrotul Yatimah dalam proyek berjudul Tarik Menarik Identitas yang dipamerkan pada Layar Berkembang, Kemudi Diputar (April 2021). Kami memiliki Zine yang berisi beberapa tulisan terkait Dwarapala, bisa dibaca di Gutuhaus.

Yang kedua terkait mitos Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan. Kami berkesempatan masuk ke palereman dan melihat apa aja yang ada di dalamnya. Kami dilarang mengambil gambar, tapi jika dideskripsikan, ruangan itu berukuran sekitar 3 x 3 meter dengan langit-langit yang melengkung. Di dalamnya terdapat sebuah altar berbentuk tempat tidur dari kayu ukir-ukiran lengkap dangan kasur berikut sprei berwarna hijau. Di tengah-tengah tembok, di hadapan kami, terdapat lukisan Nyi Roro Kidul. Di bawah altar tersebut terpajang foto H. Soemiran dan istrinya. Di sisi sebelah kiri ruangan terdapat lemari berisi baju-baju. Menurut keterangan juru kuncinya, baju-baju tersebut adalah persembahan dari orang-orang yang pernah bermimpi bertemu Nyi Roro Kidul dan diminta untuk memberi persembahan berupa baju-baju tersebut. Di sisi kanan ruangan terdapat berbagai macam senjata yang konon juga merupakan persembahan dengan cerita mimpi serupa. Di tembok kanan dan kirinya terdapat gambar-ukiran berbagai jenis ikan dengan tembok berwarna biru (laut). Semua ikan tersebut mengarah ke utara-arah altar Nyi Roro Kidul.

Di area Reco Sewu, kami menghabiskan waktu paling lama di wilayah pembuangan abu. Saat itu cuaca sangat cerah, kami merasa cukup nyaman dengan duduk sembari melihat ombak-ombak besar menabrak karang. Sejujurnya, kami merasa tempat itu cukup unik karena dibangun oleh Perusahaan Rokok Gudang Garam, yang notabene adalah kompetitor dari Pabrik Rokok Retjo Pentung pada masanya. Setelah merasa cukup bahagia, kami melanjutkan jalan menuju Pantai Niyama untuk melihat sisi keluar air dari Terowongan Niyama. Kami juga menghabiskan waktu cukup lama di pantai tersebut karena ditumbuhi banyak pepohonan. Mendekati akhir perjalanan kami mencoba Jalur Lintas Selatan yang masih dalam tahap pengerjaan. Kami sampai di ujungnya dan memutar kembali kemudian memilih pantai Klathak dan pantai Gemah sebagai tujuan berikutnya. Kami menutup perjalanan ke selatan hari itu dengan salmon bakar sebarat 1kg 3 ons.

– Benny Widyo

Thursday holiday, we spent the day visiting several locations in the southern region. The main destination was the Tunnel that associated with the Tulungagung flood. But before heading there, we stopped by a few sites. The first stop was the Wajakensis Monument, a monument built to mark the area where the fossils of Homo wajakensis were found in a depression in Wajak (now Gamping village). In that area, there is a monument with a skull statue as a marker; a large banyan tree complete with poleng cloth and offerings that strengthen its magical impression; an inscription marking the existence of a marble quarry; and a park complete with a coffee shop managed by local residents.

This is not the first time we’ve visited the site, as on previous visits we’ve spoken to local residents and done a simple research. In the popular historical narrative, the discoverer of Homo wajakensis is van Rietschoten, a mining engineer who explored limestone and marble in the Wajak region. Riestchoten’s name is recorded because he was the person in charge of rock quarry exploration when the fossil was (accidentally) discovered. However, the locals have a different narrative referring to the local storytelling. It is said that it was not Rietschoten by himself who discovered it, but local residents who worked in the exploration or mining of limestone and marble. But isn’t history always said to belong to the winners or those in power? Just as we can find out which temple was built during the reign of which (king), but we don’t know who the architect was, let alone the workers. Perhaps something similar happened with the discovery of the Homo wajakensis fossils.

Meanwhile, although it was not my first visit to the Wajakensis Monument, I had just realised that the reliefs on the tug were very disgusting. In a rough carving on the cement/stone, there is a picture of a man with a round hat, in a Dutch (soldier) uniform sitting on a chair. He looks erect and dashing complete with a pointing hand (a commanding gesture). This first engraving is quite detailed. In front of the man are carvings of several labourers, smaller in size, without any detail. The remaining engravings show images of quarries and the locations of limestone and marble hills. A fitting visualisation to show how colonised we are. Even in monuments built long after Indonesia’s independence, we cannot fight against the unequal narrative of historical recording. Instead of fighting back, we continue to submit to being colonised in our minds.

Our next destination was Telaga Buret. A lake with environmental issues and mysticism surrounding it. It is said that after the reformation, the control of the forest in the Telaga Buret area is no longer owned by one person or company, but managed by Perhutani (Indonesia State Forest Enterprise). Unfortunately, the management did not go well, massive exploitation was carried out. It may not be hyperbole to say that area is almost deforested and the water in the lake is almost depleted. Later, groups of believers in the villages around Telaga Buret initiated a ritual to sacralise the place. The ritual is known as Ulur-Ulur and is still performed once a year until now. This ritual then became a tactic to overcome environmental problems in the Telaga Buret area. The open space is constructed not only as a place where various plants and animals live, but also abstract, mystical, mythical creatures and the like. In relation to our research, in addition to the existence of the lake, we learnt later that Telaga Buret is also home to Jigangjoyo, one of the mythical creatures associated with the Ringin Kurung story.

After enjoying the shade and coolness of Telaga Buret, we continued our journey to Niyama Tunnel. We started from the side of the tunnel entrance. The path we took to get closer to the tunnel entrance was through the riverside of Neyama Bridge, Besuki. From the bridge, we can see the branching of the river, one flowing from Trenggalek, the other from Tulungagung. The river that merges into the tunnel is then split into two streams, one leading to the first tunnel, which is actively used to filter waste. The second tunnel is closed to the public as it is used for power generation. We found some archives related to the history of the construction of the Niyama Tunnel, which will be published in a special post.

After Niyama Tunnel, we headed to Reco Sewu. This site is a hermitage as well as the final resting place for H. Soemiran, the founder of the Retjo Pentung cigarette factory that was once victorious in his day. Besides Reco Sewu, we also visited neighbouring sites such as Palereman Nyai Roro Kidul and the disposal of ashes (Gudang Garam Pier). Through these sites I told Ella about the modern history of Tulungagung related to the cigarette company. The first is related to the tug-of-war over the use of Dwarapala as a symbol-keeper of the city of Tulungagung with the symbol-branding of Retjo Pentung cigarettes. This discussion has been done by the art couple FJ Kunting & Durrotul Yatimah in a project entitled Tarik Menarik Identity which was exhibited at Layar Berkembang, Kemudi Diputar (April 2021). We have a zine that contains some writings related to Dwarapala, which can be read at Gutuhaus.

The second one is related to the myth of Nyi Roro Kidul or the Queen of the South. We had the opportunity to go into the palereman and see what’s inside. We were forbidden to take pictures, but if you describe it, the room is about 3 x 3 metres with a curved ceiling. Inside was a bed-shaped altar made of carved wood complete with a bed and green linen. In the centre of the wall, in front of us, is a painting of Nyi Roro Kidul. Below the altar is a photograph of H. Soemiran and his wife. On the left side of the room is a cupboard filled with clothes. According to the caretaker, the clothes are offerings from people who had dreamt of meeting Nyi Roro Kidul and were asked to make an offering in the form of these clothes. On the right side of the room are various weapons that are said to be offerings with similar dream stories. On the right and left walls there are carvings of various types of fish with blue (sea) coloured walls. All the fish point to the north-the direction of Nyi Roro Kidul’s altar.

In the Reco Sewu area, we spent the longest time in the ash disposal area. It was very sunny, so we felt quite comfortable sitting and watching the big waves crashing against the reef. To be honest, we felt that the place was quite unique because it was built by Gudang Garam Cigarette Company, which was a competitor of Retjo Pentung Cigarette Factory in its time. After feeling quite happy, we continued our way to Niyama Beach to see the water exit side of the Niyama Tunnel. We also spent quite a long time at the beach as it was overgrown with trees. Towards the end of the trip, we tried the Southern Expressway, which was still under construction. We reached the end of it and detoured, choosing Klathak beach and Gemah beach as our next destinations. We ended our journey south that day with a 1kg 3 ounce grilled salmon.