Pekan Pertama: Negosiasi Mata & Rasa

Silang Residensi - Pekan Kebudayaan Nasional 2023 - kuratorial Sedekah Bumi Project Gulung Tukar sebagai host - seniman residensi: Noirlab Collective, Bogor

oleh Benny Widyo

Kami mengawali residensi ini dengan melakukan beberapa kali pertemuan secara daring (video call) hingga koordinasi menggunakan grup Whatsapp. Ini menjadi fase perkenalan kolektif satu sama lain. Satu hal yang kami temukan sama adalah bahwa sebagai kolektif yang tinggal di kota kecil, hampir sebagian besar dari anggota kami memiliki pekerjaan harian. Kesulitan menentukan siapa perwakilan yang akan menjalani residensi bukan karena rebutan, tetapi negosiasi waktu yang akan dilakukan untuk meninggalkan aktivitas rutin demi fokus mengerjakan proyek kolektif di lokasi residensi. Selain itu, bagi kolektif yang multidisiplin, baik secara praktik artistik atau kerja keseniannya beragam, perlu mengatur strategi pagi perwakilan yang akan terlibat. Pembagian tugas siapa yang akan melakukan riset, yang akan terlibat pada proses produksi, yang akan bertugas pada instalasi karya, termasuk siapa yang akan terlibat pada kerja-kerja hospitality sebagai host. Kami merasa cukup beruntung karena pembagian siapa ke mana dari 3 kolektif ini saling berkaitan: Gulung Tukar (Gutu) ke Ruang Atas, Ruang Atas ke Noirlab, Noirlab ke Gutu. Jadi dalam silang residensi Lawatan Jalan Terus ini kami memiliki kelompok kecil yang yang saling terkoneksi satu sama lain.

“Petugas Kolektif” dari Noirlab yang pertama datang adalah Iriyanto. Pekerjaan sehari-harinya adalah kurir paket, kami ketahui kemudian Riyan ternyata memilih untuk berangkat lebih awal selain untuk melakukan proses riset dan pemetaan, sekaligus menjadi momentum baginya untuk melupakan kehilangannya. Beberapa minggu sebelum dia berangkat residensi, ibunda tercinta telah berpulang.

Sebagai catatan, Noirlab sebelumnya telah melakukan riset awal secara daring dan membuat gagasan awal atau setidaknya metode berkarya yang akan dikerjakannya ketika di Tulungagung. Hal ini sebenarnya cukup tricky, rencana yang relatif matang dan siap eksekusi ini memudahkan proses awal seperti penentuan langkah dan linimasa produksi. Tetapi, topik atau isu bahasan, terutama terkait kelokalan, yang belum ditemukan/ditentukan ini tentu menjadi kendala. Untuk itu di masa awal ini kami mencoba mengunjungi beberapa lokasi dengan kategori yang ditentukan oleh Riyan (Noirlab), seperti tempat yang hype untuk anak muda, situs sejarah, dan yang menjadi favorit teman-teman Gutu sendiri. Di masa awal ini kami juga coba menemui teman-teman serta kolega Gutu yang pernah diajak berkolaborasi untuk berbagi dan menambah perspektif tentang seni budaya di Tulungagung.

Karena mendapatkan lokasi residensi dengan jarak tempuh terjauh (16 jam menggunakan bus), kami menjadikan hari pertama sebagai waktu untuk istirahat bagi Riyan. Waktu itu kami juga sedang membantu UKM Seni Rupa “Sekar Kusir” dari UIN SATU Tulungagung yang sedang pameran dan tepat hari pertama residensi itu adalah pembukaannya. Jadi kami mengajak Riyan untuk hadir di pembukaan. Momen yang tepat untuk bertemu lebih banyak lagi pelaku seni budaya, terutama perupa. Riyan sempat mengobrol dengan teman-teman mahasiswa hingga perupa senior di Tulungagung.

Hari kedua kami mulai membicarakan tentang isu-isu apa yang menarik bagi teman-teman NoirLab. Pada masa ini kami juga mulai merencanakan riset lapangan dan wawancara yang perlu dilakukan. Di malam harinya kami mengajak Riyan untuk menghadiri seniman wicara kemudian mengunjungi salah satu warung kopi yang sekaligus menjadi ruang alternatif seni budaya dan studio seniman.

Hari ketiga kami mengunjungi daerah Wajak yang terdapat beberapa candi, wisata alam, dan amphiteater. Pertama kami mengunjungi Amphitheater Tebing Mojo, kami langsung terpesona dan memunculkan ide-ide untuk mengaktivasi tempat ini. Entah akan digunakan untuk venue video karya ataupun mengagendakan sebuah acara di sini. Setelah dari Amphitheater Tebing Mojo, kamu berlanjut mengunjungi Goa Selomangleng yang berjarak hanya sekitar 5-10 menit. Selepas dari Goa Selomangleng kami ingin mengunjungi Candi Sanggrahan, tapi sayangnya (kami dari Gutu baru tahu juga) candi Sanggrahan sekarang memiliki jam operasional, yaitu buka pukul 07.00 hingga 16:00 WIB. Sempat kami berbincang dengan warga sekitar, ternyata jam operasional ini diberlakukan setelah peresmian Candi Sanggrahan setelah selesai proses pemugarannya. Warga menyayangkan setelah pemugaran candi Sanggrahan dirasa menjadi lebih tertutup, padahal biasanya sore hari menuju maghrib bisa digunakan warga untuk rekreasi, hingga latihan silat dan tari. “Mending rausah dipugar nek dadi tertutup ngene iki, mas”, komentar warga-tetangga candi Sanggrahan.

Karena gagal memasuki area candi Sanggrahan pada hari sebelumnya. Kami berangkat lebih siang dengan tujuan utama Candi Sanggrahan. Selepas dari candi Sanggrahan, kami mengunjungi candi Gayatri. Kami cukup dekat dengan dua situs ini, di candi Sanggrahan kami pernah melakukan proyek mapping (proyeksi visual) pada akhir 2021 yang menjadi bagian dari Biennale Jatim IX. Sementara candi Gayatri pernah menjadi objek inspirasi dari karya seniman partisipan dari pameran Layar Berkembang, Kemudi Diputar (Alfiah Rahdini) pada awal 2021 dan karya kolektif pertama kami yang berjudul Trimantra Duduk Bersila yang dipamerkan di Museum Nasional 2022 dalam Erlangga Art Awards 2022. Setelah dari 2 candi ini, kami berencana untuk mengunjungi Waduk Wonorejo, sayangnya kami terjebak macet karnaval (masih masa perayaan kemerdekaan) hingga akhirnya kami merubah tujuan dan mengunjungi salah satu warung kopi yang cukup hype karena berada di atas bukit dan pemandangannya indah terutama di sore hari.

Hari kelima kami meluncur ke daerah selatan Tulungagung, tetapi tidak terlalu selatan (pantai). Tepatnya kami mengunjungi daerah Besole sebagai yang terdapat bukit marmer dan sentra kerajinan marmer. Kami juga mengunjungi telaga Buret. Tetapi tujuan utama kami adalah mengunjungi Yayak Priasmara di Sanggar Seni Gedhang Godhog (SSGG). Pada malam sebelumnya kami sempat berbincang dan dari Noirlab memperjelas metodenya yang secara sederhana adalah berkolaborasi dengan seniman (lokal) untuk kemudian dijadikan sebuah karya suara, audio, atau musik. Yayak dan SSGG ini adalah pelaku seni pertunjukan terutama teater dan pelestarian kentrung (seni tutur – dongeng). Sorenya berlanjut Jalan Gembira di area pusat kota Tulungagung.

Hari keenam ini ada pergantian pemain dari NoirLab. Rama (musisi dan seniman multidisiplin) serta calon istrinya, Alica (performance artist dari Taipei) datang pada pagi hari. Mereka mengawali hari pertama di Tulungagung dengan berkeliling menggunakan sepeda motor dan mengunjungi pasar tradisional. Riyan pulang pada siang hari, jadi mereka sempat bertemu secara fisik untuk membagikan hasil riset awal yang dilakukan Riyan di Tulungagung. Malam harinya, Rama dan Alica mengunjungi penutupan pameran di Balai Budaya. Rama ditodong untuk perform malam itu, hehehe.