Menyambangi Kolektif Seni, Melihat Proses Fermentasi
Silang Residensi - Pekan Kebudayaan Nasional 2023 - kuratorial Sedekah Bumi Project Gulung Tukar sebagai seniman residensi -- host: Ruang Atas, Sukoharjo
oleh Agustin Dwima & Sulthon Amanulloh
Hari Rabu (13/9), bertemu dengan Darsa Kolektif. Darsa Kolektif adalah Kolektif musik yang lahir pada tahun 2017 yang berdomisili di Sukoharjo dan aktif sampai sekarang. Pada agendanya yang terakhir yaitu tajuk “Saling Pandang #14” pada Sabtu, 16 September 2023. Saling Pandang adalah gelaran rutinan gigs yang digelar di Sukoharjo oleh teman-teman Darsa dan Keliling Kabupaten (sub div dari Darsa Kolektif yang mengurusi tour & gigs). Pada malam ini, aku berkesempatan ngobrol dengan mas Dian. Mas Dian adalah salah satu penggagas dari Darsa Kolektif dan anggota yang sampai sekarang masih aktif di dalamnya. Mas Dian sendiri adalah gitaris dari band The Suse yang juga aktif di Keliling Kabupaten (instagram.com/kelilingkabupaten) dan Kolektif zine Leluasa (instagram.com/leluasa). Kolektif zine ini juga merupakan salah satu sub dari Darsa Kolektif yang fokus pada zine, media partner dan review rilisan musik. Masih kata mas Dian, bahwasanya di Sukoharjo sendiri banyak komunitas/ kolektif yang masih aktif sampai sekarang, diantaranya komunitas vespa, komunitas sepeda, komunitas musik, komunitas zine.
Darsa Kolektif sendiri berprinsip menjadi kolektif yang seinklusif mungkin bagi siapapun di dalam ataupun luar Sukoharjo. Anggota aktif dari Darsa Kolektif saat ini berjumlah 12 orang, termasuk mas Dian. Kebanyakan dengan latar belakang musik. Masing-masing anggota mempunyai kontribusi yang beda-beda sesuai kapasistasnya masing-masing. Latar belakang terbentuk hingga bertahan sampai sekarang, kalau mas Dian karna ada kesenangan ketika membuat acara musik, atau dia menyebutnya “kecanduan gawe gigs”. Salah satu sumber pemasukan di Darsa Kolektif adalah penjualan merch, berupa kaos, totebag, topi. Merch-merch tersebut dari band-band yang ada di dalam Darsa atau Band yang berkolaborasi (artwork, rekaman, dll) dengan Darsa Kolektif. Untuk Darsa Kolektif sendiri, pada akhirnya bisa bertahan hingga saat ini, salah satu faktor karna para anggotanya tinggal di Sukoharjo raya, termasuk mas Dian. Karna punya kesenangan yang sama (musik), yang membuat mereka tetap melakukan kerja kolektif. “Koyoke wis kecanduan gawe Gigs e mbak, masio kadang sering tombok, tapi rasane seneng” kata mas Dian.
Pada hari Kamis (14/9), kami (Agustin, mas Wahyu dan mbak Olen) datang ke Mantul Studio. Mantul Studio adalah collective visual art yang berbasis di Solo. Berdiri pada tahun 2016 dan aktif sampai sekarang. Studio berbentuk rumah dengan ruangan utama yang cukup luas berisi meja panjang dengan beberapa buah komputer & laptop. Lalu menyambung ke ruang tengah, ruangan yang berfungsi lebih untuk tempat berkumpul. Ada meja panjang sofa bermotif macan tutul, karpet dan tv berlayar besar (aku rasa ukuran 20 inch).
Ketika sampai, kami disambut oleh teman-teman Mantul, ada 6 orang yang saat itu ada di sana (katanya mereka semua berjumlah 7 orang). Kami mengobrol santai, dengan mas David yang banyak menjawab obrolan-obrolan yang kutanyakan. Ada mas Fahim juga (yang lain aku lupa huhu luput banget ngingetin nama orang kalo kenalan kali pertama alais susah mengingat nama). Saat mengobrol sama mas David dan teman-teman, diceritakan awal mula Mantul terbentuk. Yang awalnya mereka tidak mau melabelinya dengan kolektif, studio saja, karna dari mereka merasa masih belum bisa membuat program atau agenda rutinan jika berbentuk kolektif, karna awal terbentuk memang merespon kepunyaan ruang untuk membuat studio guna melakukan aktivitas (re: menggambar) bersama-sama. Tetapi akhirnya karna ada undangan untuk melakukan pameran, maka mereka melabeli Mantul sebagai kolektif. Dan juga karna pemetaan oleh kalangan teman-teman pelaku seni di Solo itu sendiri.
Lalu, pada tahun 2020 mereka pindah ke ruang baru (yang sekarang ini). Dan pada tahun itu, mereka merambah ke pasar NFT. Terhitung “laris”, dari para anggotanya ataupun atas nama Mantul itu sendiri. Dan sampai sekarang mereka masih aktif untuk menjual karya-karya gambarnya di market NFT. Selain itu, mereka juga sering melakukan kolaborasi dengan beberapa brand, salah satunya menang lomba submisi desain kaos brand Deus. Sampai sekarang, mereka masih aktif menggambar untuk sumber pendapatan (pekerjaan) ataupun untuk submisi mengikuti pameran, entah atas nama individunya ataupun untuk mantul studio.
Setelah mengobrol lumayan panjang, aku menanyakan, kalian (mantul studio dan orang-orang di dalamnya) akhirnya bisa bertahan dan survive di solo hingga saat ini, bagaimana caranya. Dengan membahas isu yang sudah diobrolkan sebelumnya tentang kolektif-kolektif yang ada di Solo jarang ada yang berumur lebih dari 5 tahun. Mereka menjelaskan, dengan latar belakang mereka yang mempunyai kepentingan yang sama anatara satu sama lain (re: saling membutuhkan) yang menjadi salah satu kunci mereka bertahan sampai sekarang. Lalu faktor latar belakang menempuh pendidikan di Solo semua, lalu berkecimpung pada dunia seni rupa dan membutuhkan ruang bersama karna jika menyewa rumah seorang diri untuk digunakan studio, masih terlalu mahal untuk mereka. Lalu, pada faktor, karna sedari awal mereka bukan melabeli mereka itu sebuah kolektif, jadi secara tidak langsung juga tidak terbebani akan program-program yang biasa dilakukan atau dikerjakan oleh kolektif. Mereka berjalan seusia apa kebuhuan mereka, dan akhirnya bisa bertahan sampai sekarang. Tapi tidak menutup kemungkinan kepada teman-teman di luar yang ingin berkolaborasi ataupun menjadi narausumber ataupun berpameran bersama. “Untuk keberatan pada yang lainnya mungkin di akhir tahun ketika tenggat waktu bayar kontrakan sih” kata mas David.
Pada hari Sabtu (16/9), Agustin & Huda (anak magang di Ruang Atas) pergi ke industri pembuatan alkohol di daerah Mojolaban, tepatnya Dukuh Sentul, Desa Bekonang, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo. Kami datang ke salah satu industri rumahan pembuatan alkohol dan bertemu dengan Pak Sabaryanto, ketua Paguyuban Pengrajin Alkohol Bekonang di wilayah Desa tersebut. Kami datang di jam siang untuk melihat proses pepmbuatan alkohol. Sambil berkeliling bersama Pak Sabar, kami juga dijelaskan tentang pengolahan dari proses awal pembuatan sampai menjadi alkohol yang berkadar 90% dan siap dikirim ke apotik-apotik dan puskesmas. Untuk limbahnya, ada pengolahan sendri dari limbah hasil pembuatan alkohol diolah menjadi pupuk organik cair yang dikelola oleh industri bernama “Ciunik” yang didukung oleh Dinas Lingkungan Hidup Sukoharjo.
Pada hari Senin (18/9), kami mengadakan rapat bersama Ruang Atas dan Gulung Tukar untuk konsep karya. Melihat sebelumnya Gulung Tukar dalam 3 tahun terakhir sering membuat progam acara, akhirnya kami memutuskan untuk mengaktivasi program, dari tema yang kami dapat yaitu “strategi kebertahanan kolektif”. Program yang akan kami lakukan akan melibatkan banyak pelaku seni yang terlibat di ruang kolektif di Solo Raya, dengan merespons sebuah media yang disediakan yaitu drum dari pengolahan industri alkohol di Bekonang.