Interview #3 – Moelyono

Winong, tepatnya rumah Moelyono (Gmaps: Moelyono Art) adalah tempat yang wajib dikunjungi oleh seniman dari luar kota ketika berkunjung ke Tulungagung. Begitupun oleh Ella, seniman residensi Gulung Tukar untuk proyek The Trees & The Wires. Tapi bukan hanya karena Pak Moel adalah seniman kawakan, tapi juga karena pak Moel memiliki bukti empiris terkait dengan alun-alun dan permasalahan air dan banjir di Tulungagung. 

 

Kunjungan ini dimulai dengan Pak Moel menunjukkan beberapa karyanya kepada kami. Kemudian Ia menunjukkan studio kerjanya, termasuk karyanya yang sedang dalam proses pengerjaan. Momentum pembukaan ini menjadi pengantar bagi kami, terutama Ella, untuk mengetahui praktik artistik dan pergerakan kekaryaan yang dilakukan oleh Pak Moel yang tentu saja berkelindan dengan berbagai isu sosial, politik, dan kebudayaan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Dari masa order baru, reformasi, hingga hari ini Pak Moel merekam berbagai wacana yang tumpang tindih mengisi kehidupan sehari-hari masyarakat. Tak lupa tentu kami berbagi gosip-gosip kesenian yang hangat akhir-akhir ini.

Terkait dengan alun-alun, Pak Moel memiliki ingatan yang sangat personal tentang tempat tersebut. Masa kecilnya Ia habiskan di Pendopo Kongas Arum Kusumaningbongso, Tulungagung. Ayah dari Pak Moel bertugas menjaga dan merawat pendopo tersebut karena pada waktu tersebut tidak ditempati oleh Bupati, “angker”, katanya. Pak Moel tinggal kurang lebih selama 10 tahun, sekitar tahun 1960-an. Tahun tinggal ini tidak pasti karena yang diingatnya adalah ia bersekolah di TK Batik dan SDN 7 Kampungdalem yang lokasinya dekat dari Pendopo. 

 

Saat kami menceritakan hasil penelusuran kami tentang Ringin Kurung (cerita 7 pohon ringin di alun-alun) Pak Moel merasa asing karena dia yakin saat Ia tinggal di sana hanya ada 1 pohon beringin. Lokasinya pun bukan di dalam Alun-Alun tapi jika berdasar pada tata letak alun-alun sekarang, maka pohon itu ada di jalan aspal utara dari Alun-Alun, selatan Patung Kartini. Ia yakin itu pohon beringin selain dari bentuknya dengan akar-akar yang menjuntai, terdapat buah-biji yang diambil oleh burung dan dimakan di atas Menara Masjid Agung (Tulungagung) yang berlokasi di barat Alun-Alun. Sisa-bijian bekas makanan burung itu jatuh di tanah sekitar bawah menara dan Moelyono kecil bersama teman-temannya sering memainkan biji-bijian tersebut.

Pak Moel juga ingat dengan pasti posisi beringin tersebut karena hanya itu satu-satunya yang tumbuh, seperti Ringin Kembar di Alun-Alun Jogja, serta waktu itu Alun-Alun Tulungagung masih berupa tanah lapang. Seperti selayaknya fungsi alun-alun pada masanya, yaitu tempat bagi warga untuk bertemu dengan raja atau pemimpinnya. Termasuk memprotesnya (melakukan demonstrasi). Satu pohon besar di tengah lapangan (alun-alun) tersebut menjadi satu-satunya tempat teduh sehingga banyak aktivitas terjadi di bawahnya, seperti tempat orang-orang berkumpul hingga banyak pedagang yang berjualan di sana. Dari ingatan Moelyono ini kita bisa perkirakan bahwa pada kurun waktu 1960-an, pohon-pohon beringin lainnya roboh atau ditebang. Moelyono kecil bersama keluarganya pindah dari Pendopo karena bupati berikutnya yang dari kalangan militer memilih untuk tinggal di Pendopo tersebut.

 

Pak Moel menambahkan cerita tentang tata letak kota Tulungagung yang mirip dengan Jogja, yaitu memiliki sebuah sumbu filosofis yang membentang dari Pantai Parangkusumo, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu Pal Putih, hingga Gunung Merapi. Garis imajiner di Jogja ini tegak lurus. Tapi jika ditarik pada konteks geografis Tulungagung, Garis ini tidaklah tegak lurus serta hanya menghubungkan 3 lokasi yaitu Gunung Wilis, Pendopo (Alun-Alun), dan Pantai Selatan (Popoh). Jika bermain-main dengan sumbu filosofis ini dengan jalur air, maka sepertinya 3 lokasi berikut ini: pertemuan Sungai Ngrowo dan Sungai Brantas; Alun-Alun Tulungagung; dan Terowongan Niyama membentuk sebuah garis imajiner meskipun tetap tidak tegak lurus. Kedua lokasi di utara dan selatan Tulungagung tersebut merupakan titik penting bagi siasat penuntasan permasalahan Banjir di kota ini.

Winong, precisely Moelyono’s house (Gmaps: Moelyono Art) is a must-visit place for out-of-town artists when visiting Tulungagung. The same goes for Ella, Gulung Tukar’s artist-in-residence for The Trees & The Wires project. But not only because Pak Moel is an established artist, but also because Pak Moel has empirical evidence related to the alun-alun and the problems of water and flooding in Tulungagung. 

 

The visit started with Pak Moel showing us some of his works. He then showed us his working studio, including his work in progress. This opening moment became an introduction for us, especially Ella, to learn about Pak Moel’s artistic practice and movement, which of course is intertwined with various social, political and cultural issues over a long period of time. From the time of the New Order, Reformation, to today, Pak Moel records various overlapping discourses that fill people’s daily lives. And of course, we share the latest hot art gossip.

When it comes to Alun-alun stories, Pak Moel has very personal memories of the place. He spent his childhood at Pendopo Kongas Arum Kusumaningbongso, Tulungagung. Pak Moel’s father was in charge of taking care the pavilion because at that time it was not use by the Regent, “haunted”, he said. Pak Moel stayed for about 10 years, around the 1960s. The year of his stay is uncertain because all he remembers is that he attended Batik Kindergarten and SDN 7 Kampungdalem, which are located close to the Pendopo. 

 

When we told him about our research on Ringin Kurung (the story of the 7 banyan trees in the square) Pak Moel felt strange because he was sure that when he lived there there was only 1 banyan tree. The location was not inside the square but based on the current layout of the square, the tree was on the tarmac road north of the Alun-alun, south of the Kartini statue. He believes it is a banyan tree apart from its shape with dangling roots, there are fruits taken by birds and eaten on top of the Masjid Agung’s tower (Tulungagung) located west of the Alun-alun. The remains of the bird’s food fell on the ground under the minaret and little Moelyono and his friends often played with the seeds.

Pak Moel also remembers the exact position of the banyan because it was the only one growing, like the Ringin Kembar (Twin Banyan) in Jogja’s Alun-alun, and at that time Tulungagung Alun-alun was still a field. As was the proper function of the square in its time, it was a place for citizens to meet with their king or leader. Including protesting (demonstrating). One large tree in the middle of the field (alun-alun) was the only shade so that many activities took place under it, such as a place for people to gather and many traders selling there. From Moelyono’s memories, we can estimate that during the 1960s, the other banyan trees were either collapse or cut down. Little Moelyono and his family moved out of the Pendopo because the next regent, who was military, chose to live in the Pendopo.

 

Pak Moel added a story about the layout of Tulungagung city that is similar to Jogja, which has a philosophical axis that stretches from Parangkusumo Beach, Krapyak Stage, Keraton, Tugu Pal Putih, to Mount Merapi. This imaginary line in Jogja is perpendicular. But if drawn in the geographical context of Tulungagung, this line is not perpendicular and only connects 3 locations, namely Mount Wilis, Pendopo (and Alun-alun), and South Beach (Popoh). If we play around with this philosophical axis with waterways, then it seems that the following 3 locations: the confluence of the Ngrowo and Brantas Rivers; Alun-alun Tulungagung; and the Niyama Tunnel form an imaginary line although it is still not perpendicular. These two locations in the north and south of Tulungagung are important points for strategies to solve the city’s flooding problems.

Berdasarkan linimasanya, pembangunan ini mulai diinisiasi pada tahun 1982. Bersamaan dengan masa rehabilitasi terowongan niyama yang kedua. Ketika terowongan ini berfungsi, maka aliran sungai Ngrowo yang sebelumnya menuju ke utara, memasok air ke Sungai Brantas, dibalik mengalir ke selatan langsung terbuang ke laut selatan melalui Terowongan Niyama. Proses pembalikan tersebut menandai banjir besar terakhir di Tulungagung, sesuai dengan cerita dari Gus Dillah yaitu pada tahun 1993. Tahun yang sama dengan pembebasan lahan seluas 100 hektar di Dusun Krajan, Jeruk, Wonorejo dengan jumlah warga 340 KK (1.056 jiwa). Dari linimasa ini, kita bisa memperkirakan bahwa untuk mengatasi kebutuhan pasokan air ke Sungai Brantas, sekaligus pasokan listrik Jawa Timur, maka dikerjakanlah proyek bendungan terbesar se-Asia Tenggara tersebut pada tahun 1994/1995.

Based on its timeline, this construction was initiated in 1982. It coincided with the rehabilitation of the second niyama tunnel. When this tunnel was functioning, the flow of the Ngrowo river, which previously headed north, supplying water to the Brantas River, was reversed to flow south and directly discharged into the south sea through the Niyama Tunnel. The reversal process marked the last major flood in Tulungagung, according to Gus Dillah’s story, in 1993. The same year as the acquisition of 100 hectares of land in Krajan, Jeruk, Wonorejo with 340 families (1,056 people). From this timeline, we can estimate that to overcome the need for water supply to the Brantas River, as well as East Java’s electricity supply, the largest dam project in Southeast Asia was built in 1994/1995.

– Benny Widyo