Interview #1 – Sukriston & Monis

(2/4) Minggu malam kami mangegandakan bertemu dengan Sukriston(Pak Kriston) dan Monish Pandu Hapsari (Mbah Monis). Dari pak Kriston lah kali pertama aku mendengar tentang cerita Ringin Kurung. Pak Kriston ini adalah seorang penghayat, Ia pernah menjadi ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Tulungagung. Sekarang ini menjabat sebagai Panglima Barisan Raja-Sultan Nusantara (Baranusa) wilayah Tulungagung. Pak Kriston ini juga berperan penting dalam inisiasi ritual Ulur-Ulur di Telaga Buret. Sedangkan mbak Monis ini adalah seorang Penggiat Budaya (Kemendikbud) dan aktif melakukan pemetaan serta mengadvokasi kerja-kerja kebudayaan terutama terkait ritus dan warisan budaya tak benda Tulungagung.

Masih jelas ingatanku, saat itu tur suara proyek Riyadh untuk Layar Berkembang, Kemudi Diputar menjadikan Alun-Alun sebagai salah satu tempat yang dikunjungi. Setelah mendengar karya suara melalui perangkat masing-masing, pak Kriston mulai menceritakan tentang Ringin Kurung. Mungkin tidak semua peserta tur memperhatikan, tapi cerita itu sangat membekas di ingatanku. Cerita penting yang kemudian ketika kami telusuri, sangat terkait erat dengan sejarah Tulungagung berikut beragam isu yang ada di tiap fase kehidupan kotanya.

Kami menjadwalkan berkunjung ke rumah pak Kriston sekitar pukul 7 malam. Dengan berbekal sebungkus martabak, kami berencana menukarnya dengan dongeng tuntas tentang Ringin Kurung dan Tulungagung. Nyatanya, kami malah berhutang banyak pada pak Kriston dan mbak Monis. Mereka telah menyiapkan suguhan makanan dan cerita yang tentu tak sebanding dengan sebungkus martabak ini. Belum lagi bingkisan spesial yang diberikan oleh mereka kepada Ella. Betapa beruntungnya kami malam itu.

(2/4) Sunday night we met Sukriston (Pak Kriston) and Monish Pandu Hapsari (Mbah Monis). It was from Pak Kriston that I first heard about the story of Ringin Kurung. Mr Kriston is a believer, he was once the chairman of Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Tulungagung. Currently, he serves as the Commander of Barisan Raja-Sultan Nusantara (Baranusa) Tulungagung region. Mr Kriston also plays an important role in the initiation of the Ulur-Ulur ritual at Telaga Buret. Meanwhile, Ms Monis is a Cultural Activist (Indonesian Minsitry of Education and Culture) and is active in mapping and advocating cultural works, especially related to rites and intangible cultural heritage of Tulungagung.

My memory is still clear, at that time the Riyadh project’s sound tour for Layar Berkembang, Kemudi Diputar chose Alun-Alun as one of the places that we visited. After listening to the sound works through their respective devices, Pak Kriston began to tell us about Ringin Kurung. Maybe not all the tour participants were paying attention, but the story made a strong impression on my memory. It was an important story that, when we explored it later, was very closely related to the history of Tulungagung and the various issues that existed in each phase of the city’s life.

We scheduled a visit to Pak Kriston’s house at around 7pm. By bringing a packet of martabak, we planned to exchange it for a thorough tale of Ringin Kurung and Tulungagung. In fact, we owe a lot to Pak Kriston and Ms Monis. They have prepared food and stories that are certainly not worth a packet of martabak. Not to mention the special gift they gave to Ella. How lucky we were that night.

Ringin kurung adalah cerita tentang 7 pohon beringin di pusat kota Tulungagung. Waktu itu Tulungagung masih bernama Ngrowo yang pusatnya berada di daerah Kalangbret. Pada tahun 1800-an, Kadipaten Ngrowo hendak menggabungkan beberapa wilayah di sekitarnya, salah satunya Ringinpitu. Karena tidak kunjung menemukan jalan tengah antara pusat kota akan berada di Kalangbret atau Ringinpitu, maka atas arahan dari Kerajaan Mataram, dipilihlah wilayah Alun-Alun yang sekarang ini sebagai pusat kota. Waktu itu, daerah tersebut masih berupa rawa-rawa. Dengan kata lain, mereka perlu mengeringkan rawa-rawa tersebut sebelum kemudian dibangun sebuah peradaban di atasnya.

Dikisahkan terdapat seorang yang sakti dan berilmu tinggi bernama K.H. Abu Mansur . Dalam beberapa sumber daring disebutkan bahwa Abu Mansur adalah salah satu orang yang berjasa untuk mengakhiri perang saudara Mataram (yang ditandai dengan perjanjian Giyanti). Atas jasanya, pada 1743M, Abu Mansur mendapatkan daerah perdikan (wilayah bebas pajak dan memiliki hak-hak istimewa). Daerah perdikan tersebut kemudian diberi nama Tawangsari. Setelah sukses membangn peradaban di Tawangsari, Abu Mansur dikenal juga sebagai orang yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Tulungagung. Karena beberapa alasan inilah, dimintaitolonglah Abu Mansur pada proses pemindahan pusat kota ini.

Prosesi atau ritual penanaman 7 pohon beringin di calon pusat kota ini dilakukan oleh Abu Mansur dengan bantuan 4 makhluk mitos bernama Jigang Joyo, Lancang Joyo, Cluntang Joyo, dan Bajang Alit. Ijuk (serabut hitam dan keras yang berfungsi melindungi pangkal pelepah daun aren) digunakan sebagai material penyumbat sumber air yang berada di bagian barat calon pusat kota. Ijuk itu kemudian diinjak-injak oleh Kebo Bule (Kerbau Putih) hingga hewan tersebut meninggal dan sekaligus digunakan sebagai persembahan. Setelah sumber air tertutup dan rawa mengering, ditanamlah 7 bibit pohon beringin berasal dari Keraton Yogyakarta. Hingga saat ini, terdapat doa bersama (syukuran) yang dilakukan di Pendopo Kabupaten Tulungagung setiap malam Jumat Legi (Dino Pitu, Pasaran Limo) untuk memperingati prosesi penanaman 7 pohon beringin tersebut.

Ringin kurung is a story about seven banyan trees in the centre of Tulungagung (Alun-Alun). At that time Tulungagung was still called Ngrowo whose centre was in the Kalangbret area. In the 1800s, the Ngrowo Duchy wanted to merge several neighbouring areas, one of which was Ringinpitu. Unable to find a middle ground between Kalangbret or Ringinpitu, at the direction of the Mataram Kingdom, the current Alun-Alun area was chosen as the city centre. At that time, the area was still a swamp. In other words, they needed to drain the swamp before building a civilisation on it.

It is said that there was a powerful and highly knowledgeable man named K.H. Abu Mansur. In some online sources, it is mentioned that Abu Mansur was one of the people who contributed to ending the Mataram civil war (marked by the Giyanti agreement). For his services, in 1743M, Abu Mansur received a perdikan area (tax-free area and has special rights). The perdikan area was then named Tawangsari. After successfully building civilisation in Tawangsari, Abu Mansur was also known as a person who played an important role in spreading Islam in Tulungagung. For these reasons, Abu Mansur was asked to help in the process of moving the city centre.

The procession or ritual of planting 7 banyan trees in the prospective city centre was carried out by Abu Mansur with the help of 4 mythical creatures named Jigang Joyo, Lancang Joyo, Cluntang Joyo, and Bajang Alit. Ijuk (a black and hard fibre that protects the base of the palm fronds) was used as a material to plug the water source in the western part of the city centre. The Ijuk was then trampled by Kebo Bule (White Buffalo) until the animal died and was used as an offering. After the water source was covered and the swamp dried up, 7 banyan tree seedlings were planted from the Yogyakarta Palace. Until now, there is a joint prayer (syukuran) held at the Tulungagung Regency Hall every Friday Legi night (Dino Pitu, Pasaran Limo) to commemorate the procession of planting the 7 banyan trees.

— p.s.

Berikut beberapa obrolan lain yang terkait:

  • Empat makhluk yang membantu Abu Mansur terkait dengan angka 4 sebagai angka harmoni dalam berbagai kebudayaan. Contoh lainnya antara lain: Sedulur Papat, Kalimo Pancer; Cerita Perjalanan Biksu Tong Sam Cong (4 orang); Punakawan (Semar, Barong, Petruk, Bagong); Empat Sahabat Nabi (Muhammad SAW); dsb.
  • Toponimi desa-desa mengacu pada nama-nama pohon ketika era Mataram Islam, kemudian berubah menjadi nama-nama buah ketika memasuki masa kolonialisme Belanda.
  • Mbak Monis menunjukkan beberapa arsip foto keluarga (kakeknya dahulu bekerja di Dinas Penerangan). Ia juga memiliki postcard tentang Niyama keluaran tahun 1961.

— p.s.

Here are some other related talks:

  • The four beings who helped Abu Mansur are related to the number 4 as the number of harmony in various cultures. Other examples include: Sedulur Papat, Kalimo Pancer; Tong Sam Cong Monk’s Journey to the west (4 people); Punakawan (Semar, Barong, Petruk, Bagong); Four Companions of the Prophet (Muhammad SAW); etc.
  • The toponymy of the villages refers to the names of trees during the Islamic Mataram era, then changed to the names of fruits when entering the Dutch colonialism period.
  • Mbak Monis showed us some archived family photos (her grandfather used to work in the Information Service). She also had and lent us a postcard of Niyama from 1961.

– Benny Widyo