Sulthon Amanulloh
TPA Segawe: Solusi Nyata atau Ilusi Harapan?
, 2024
Perdebatan Intens Masalah Sampah di Tulungagung

Print on Photo Paper, Mounted on PVC Board
Variable Dimension

TPA Segawe, satu-satunya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Tulungagung, kini menjadi pusat perhatian. Terletak di tengah-tengah gunung sampah yang terus melonjak, banyak pertanyaan muncul: apakah TPA ini mampu menjadi solusi atau justru memperburuk masalah? Meski gunung sampah semakin tinggi, area sekitar TPA sering terlihat sepi, bahkan pemulung jarang terlihat. Saat diwawancarai, seorang petugas TPA Segawe menyebutkan bahwa peningkatan volume sampah di sini sangat signifikan, dari 31.900 ton pada 2017 menjadi 41.300 ton pada 2023.

Saat saya memasuki gerbang berwarna hijau bertuliskan TPA Segawe, saya berjalan masuk dan tidak mencium bau sampah sama sekali. Namun setelah berjalan sekitar 100 meter dari gerbang, bau tidak sedap langsung menyengat hidung, seperti telur busuk namun lebih tajam. Saya menahan nafas dan mengambil beberapa foto, lalu segera keluar karena tidak tahan dengan baunya, dan melanjutkan untuk mewawancarai petugas TPA Segawe.

“Rata-rata, berapa jumlah sampah yang masuk ke TPA Segawe setiap harinya?”, tanya saya.

“Dalam kondisi normal, kami menerima sekitar 40-50 rit sampah per hari,” jawab petugas itu dengan tegas. “Namun, selama bulan Ramadan, angkanya cenderung naik. Hari ini saja sudah mencapai 57 rit.” Rit yang dimaksud adalah truk sampah.

Saya pun melanjutkan dengan mencoba memahami gambaran besar pengelolaan sampah di TPA Segawe dari tahun 2017 hingga 2023. Saya ingin mengetahui berapa total ton sampah yang masuk di TPA Segawe selama periode tersebut, dan saya langsung ditunjukkan sebuah grafik peningkatan sampah yang masuk di TPA Segawe per tahun. Namun sayangnya, grafik tersebut tidak boleh difoto karena perlu izin surat pengantar. Saya mencatat pemaparan dari petugasnya.

“Dari data yang kami miliki ini, total peningkatan ton sampah yang masuk ke TPA Segawe dari 2017 hingga 2023 adalah dari 31.900 sekarang 41.300 ton. Dalam lima tahun ini meningkat sekitar 9.400 ton,” jelasnya.

Tak puas dengan penjelasan tersebut, kami pun menanyakan mengenai solusi jika sampah di TPA ini penuh. Mereka menjawab, “Sepertinya itu tidak mungkin terjadi, karena kita sudah mengukur total luas lahan sampah untuk tahun-tahun ke depan dan sudah ada data serta prediksinya.”

Saat saya berada di TPA Segawe, tempatnya terasa sepi, bahkan tidak ada pemulung. Saya bertanya, “Apakah diperbolehkan orang-orang dari luar mengambil sampah di TPA Segawe, maksudnya pemulung?”

“Iya, tentu saja boleh,” jawab petugas itu sambil mengangguk. “Namun, ada syaratnya. Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat setempat yang sudah terdaftar dengan memberikan informasi diri, termasuk nomor KTP. Sebab, sampah yang kami terima beragam jenis, mulai dari tulang-tulang, kresek, botol plastik, hingga sampah organik seperti sayuran. Setelah diambil, mereka menjualnya kembali kepada kami di TPA ini.”

Ternyata para pemulung atau pemilah yang ada di TPA Segawe harus terdaftar, dan hasil sampah yang diambil nantinya harus dijual kembali ke TPA Segawe sebagai sumber pendapatan daerah serta perputaran bisnis sampah ini. Alasan lain adalah untuk memudahkan penyaluran, karena ada beberapa sampah yang tidak bisa diterima oleh pengepul sampah swasta, seperti sampah kresek.

Pertanyaan selanjutnya saya arahkan kepada aturan dan regulasi yang mengatur penggunaan TPA Segawe. “Mengapa orang-orang yang ingin mengambil sampah di sini harus memiliki izin?” tanya saya ingin mengetahui lebih dalam.

Petugas itu menjelaskan dengan sabar, “Kami mewajibkan mereka memiliki izin karena dalam sampah ini terdapat banyak gas metana yang sangat berbahaya jika tidak ditangani dengan benar. Ada juga kekhawatiran tentang keselamatan dan keamanan, mengingat di sini dilarang keras menyalakan api. Selain itu, kami juga menghasilkan gas metana yang dapat dinikmati oleh masyarakat sekitar dengan membayar biaya perawatan sebesar 10.000 rupiah per bulan. Namun, belakangan ini produksi gas metana sedikit menurun akibat cuaca yang sering hujan, sehingga uap air yang dihasilkan lebih banyak daripada gas metananya.”

Dengan berbagai jawaban yang kami dapatkan, terbentanglah gambaran kompleks tentang TPA Segawe, di mana perdebatan antara manfaat dan dampaknya masih terus berlangsung. Apakah TPA Segawe benar-benar solusi nyata atau hanya ilusi harapan? Ini adalah pertanyaan yang mungkin tidak memiliki jawaban mudah, tetapi perlu dipertimbangkan dengan serius. Setiap langkah dalam pengelolaan sampah harus mencerminkan pemahaman yang mendalam untuk menghindari dampak negatif jangka panjang di Tulungagung.