Laila Muhibbah
Bayang-Bayang Kekerasan dalam Perkawinan Anak, 2024

Print on Photo Paper, Mounted on PVC board
Variable Dimensions

Trigger Warning: Artikel ini mengandung deskripsi yang sensitif. Mohon membaca dengan hati-hati.

Siang itu matahari sangat terik dan panasnya cukup menyengat. Cuaca beberapa bulan terakhir sangat tidak menentu; siang terik menyengat, sore hujan yang lebat; kadang hanya panas yang menyengat tanpa hujan setetes. Di dalam ruang tamu tampak seorang perempuan muda mengenakan daster dengan rambut pirang diikat seadanya sedang memantau smartphone dalam genggaman. Ruang tamu itu berbagi tempat dengan warung kelontong kecil-kecilan dan sebuah motor yang terparkir di dalamnya. Nita (nama samaran), saat ini ia berusia 22 tahun. Nita merupakan seorang ibu rumah tangga sekaligus pemilik warung kelontong tersebut. “ini kan udah mau puasaaku lagi mantau facebook buat beli stok warung yang mulai menipis mbak”, ucapnya sambil terus menatap layar dalam genggaman.

Sekilas kehidupan Nita tampak berjalan normal selayaknya ibu rumah tangga pada umumnya. Membersihkan rumah, memasak, mencuci, hingga mengurus anak. Tapi siapa sangka ia sudah memasuki pernikahan tahun ke delapan dengan sang suami dan seorang anak laki-laki berusia 6 tahun. Ia menikah dengan suami ketika berusia relatif muda, bahkan ketika masih menginjak remaja. Mereka menikah saat keduanya sama-sama berusia 16 tahun, tepat tiga bulan setelah Nita meraih kelulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Semenjak lulus SMP, Nita sudah memutuskan untuk bekerja dibandingkan melanjutkan Pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Keinginannya sederhana, Ia ingin membantu finansial keluarga yang belum stabil. Ayah Nita bekerja menjadi tukang bakso keliling, sedang ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari berkutat pada pekerjaan domestik. Pekerjaan pertama Nita adalah penjaga outlet minuman. 

Di tengah upaya untuk menghidupi diri dan membantu perekonomian keluarga, Nita ketahuan hamil. Ketika kedua belah pihak keluarga mengetahui, dengan segera mereka menyepakati Nita dan (calon) suaminya untuk menikah. Dengan alasan hamil di luar nikah, Nita dan suami segera mendapatkan Dispensasi Kawin (Diska) di Pengadilan Agama (PA) setempat. Dengan usia yang terbilang sangat belia, pada tahun 2016 pernikahan mereka tercatat di KUA setempat. 

Berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2023, Indonesia menempati peringkat empat dalam perkawinan anak global dengan jumlah kasus sebanyak 25,53 juta. Nita merupakan salah satu korban diantara tingginya persebaran persentase perkawinan anak di indonesia. Mengutip berita detik.com berjudul “2 Tahun, Kasus Pernikahan Anak di Tulungagung Meningkat”, berdasarkan data Diska yang dikeluarkan PA Tulungagung tahun 2016, jumlah perkawinan anak di tulungagung telah meningkat. Tahun 2016 terdapat sebanyak 120 perkara Diska, Sedangkan tahun 2017 jumlah meningkat menjadi 190 perkara Diska. Berdasarkan data yang telah dihimpun dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung, jumlah perkara diska sempat turun dari tahun 2017 ke 2018. Namun sejak tahun 2019 hingga 2021 terus mengalami kenaikan dengan rata-rata 40,38 persen. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2020 sebesar 124,15 persen atau lebih dari dua kali lipat. Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 merevisi ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Usia menikah untuk perempuan yang sebelumnya minimal 16 tahun ditingkatkan menjadi 19 tahun atau sama dengan usia menikah laki-laki yang juga 19 tahun. Ketentuan itu berlaku sejak Oktober 2019. Kenaikan batas usia menikah pada perempuan ternyata tidak serta merta dapat menekan angka pernikahan dini, justru mengakibatkan permohonan Diska naik pesat. Informasi ini bisa diakses di laman website https://dimensipers.com/2022/10/18/gagalnya-pengentasan-pengangguran-dan-kemiskinan-picu-pernikahan-dini-di-tulungagung/

Aku mbiyen sadar dan wis mantep mbak mutusi nggo nikah karo suami. Mbiyen pas pacaran aku seneng, kabeh kebutuhanku dicukupi karo dee, aku njalok opo mesti digolek-golekne, mikirku menikah ya wes cukup karo cinta. Mengko sembarang bakale iso diusahakne lak bareng-bareng

Nahas, anggapan Nita menikah dengan bermodalkan cinta akan cukup menghalau badai rumah tangga ternyata hanya sebuah mimpi di siang bolong. Setelah menikah dan menjalani kehamilan, nyatanya Nita harus berjuang sendirian untuk menghidupi rumah tangganya. Bertahun-tahun sang suami pengangguran dan enggan mencari pekerjaan. 

Di tengah kehamilan, Nita mengambil peran sebagai pencari nafkah sekaligus ibu rumah tangga dengan beban domestik yang tak pernah ringan dan mudah. Ia melakoni apa saja pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Nita sudah pernah menjadi pelayan di warung makan, menawarkan jasa melipat baju, menjadi buruh tembakau dan bawang merah, serta yang terakhir menjadi penjaga outlet jus buah. Nita terus bekerja sampai putra semata wayangnya lahir dana kini telah berusia 6 tahun. Awal tahun 2024, Nita dipaksa oleh suami dan mertua untuk keluar dari pekerjaan menjaga outlet jus buah karena mertua menilai bahwa Nita telah menelantarkan putra semata wayangnya. Nita diancam oleh pihak mertua berupa akan memboyong putra semata wayangnya bila ia tak segera berhenti bekerja. 

Sebagai gantinya, suami Nita membujuk dan menawarkan diri untuk mencari pekerjaan selagi Nita mengurus pekerjaan domestik. Seperti pucuk dicinta, ulam pun tak pernah tiba. Iming-iming tersebut nyatanya omong kosong. Setelah Nita keluar dari pekerjaannya, suami tak kunjung mencari pekerjaan dan tetap menganggur. Sebagai respons geram, kesal, dan lelah dengan keadaan ekonomi yang semakin terpuruk pasca berhenti dari pekerjaan, Nita akhirnya membuka warung kelontong kecil-kecilan dan online shop yang dimodali oleh orangtua Nita. Saat ini pemasukan keluarga kecil Nita berasal dari warung dan online shop yang Ia rintis. Ia menjual apa saja di warung kelontong dan online shop-nya. Apapun permintaan pembeli, Nita akan mengusahakan barang itu ada. Kosmetik, bahan-bahan dapur, sembako, pakaian, makanan, buah-buahan; Nita menjual apa saja untuk bisa dijadikan uang guna mencukupi hidup. Nita rela melakukan apa saja, asal ia dan keluarga kecilnya bisa makan setiap harinya. 

Suasana hangat percakapan kami sedikit berubah intens tatkala Nita menceritakan bahwa sejak putra semata wayangnya lahir, Ia mulai menerima kekerasan dari suami. Mulanya kekerasan itu berupa verbal, lambat laun kemudian merambah pada kekerasan fisik. Sambil menerawang dengan mata berkaca-kaca, Nita bercerita, “sifat e de’e semakin jelas pas anakku usia setahun. Aku tau dilokne goblok, dipisuhi, diremet lengenku sampek aboh, dikaplok, dijegug, didadukne tembok, dijambak, dijongkrokne nang pinggir dalan aku yo tau mbak. Bahkan dee wani ngaplok aku sampek nang ngarepe tonggo mbak. Roto roto perkorone Ketika aku njaluk modal ngge warung, ngge jajane anakku. Aku sadar dee gaiso ngeragati aku, makane aku mek njaluk ngge anakku, ngge warung, toh iku yo ngge urip bareng”. Bagi Nita, ingatan-ingatan kekerasan itu terasa masih menghantui. Sangat nyata dan perih. 

Bertahun-tahun Nita bertahan dalam jeratan perkawinan anak yang membuatnya mati rasa, “Rasanya seperti di neraka”. Yang selalu menjadi rumah untuk bercerita dan menguatkannya adalah sang ibu dan anak semata wayangnya. Seperti ikatan yang erat antara ibu dan anak, ibu Nita selalu mengerti gelagat putri tunggalnya bila terjadi apa-apa. Selayaknya pohon yang teduh dan melindungi, seperti itulah ibu bagi Nita. Tahun 2023 adalah tahun yang menjadi titik terendah Nita. Ia kehilangan sosok teman bercerita yang teduh. Ibunya mangkat. Sedangkan Nita tidak memiliki ikatan emosional lebih dengan ayahnya. Cerita tentang kekerasan yang setiap hari Ia alami pun tak kuasa Nita ungkapkan, Ia tidak ingin kehilangan orangtua untuk kedua kalinya. Tinggallah Nita sendirian bersama sang anak. 

Deretan penderitaan Nita adalah satu dari sekian banyak bukti nyata bahwa perkawinan anak sangat berisiko dan memiliki dampak yang serius bagi anak. Situasi beban ganda (double burden) yang dialami Nita banyak terjadi pada perempuan korban perkawinan anak. Tak jarang perempuan harus ikut bekerja sekaligus menjadi ibu rumah tangga untuk menambah penghasilan keluarga. Secara ekonomi, perkawinan anak dapat menimbulkan ‘siklus kemiskinan’. Anak remaja yang belum mapan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak akan cenderung bergantung kepada orang tuanya. Akibatnya orang tua memiliki beban ganda. Selain harus menghidupi keluarga inti, mereka juga harus menghidupi anggota keluarga baru. Kondisi yang seperti ini akan berlangsung terus dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga keluarga itu jatuh dalam jurang-jurang kemiskinan. Perkawinan anak juga berdampak pada potensi kekerasan hingga perceraian di kalangan pasangan muda yang baru menikah. Hal ini karena emosi yang masih belum stabil sehingga mudah terjadi pertengkaran dalam menghadapi masalah kecil sekalipun. Adanya pertengkaran terkadang juga menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan seksual seperti yang dialami oleh Nita dikarenakan adanya relasi hubungan yang tidak seimbang.

 

Persoalan perkawinan anak bukan semata persoalan individu, melainkan juga menjadi persoalan sosial dan global. Artinya perkawinan anak tidak mungkin dapat diselesaikan hanya pada tataran personal saja. Perkawinan anak merupakan persoalan yang sistemik dan memiliki banyak dimensi. Apapun alasannya, perkawinan anak tidak pernah berujung indah bagi anak. Sekalipun anak terlanjur hamil, bukan berarti perkawinan adalah jalan satu-satunya yang bisa ditempuh. Terlampau banyak resiko yang dibebankan kepada anak ketika dipaksa menjajaki pernikahan akibat dari masyarakat yang tidak adil gender.