Gelar Prakosa
Rasa Original, 2024

Single-Channel Video, Glass Bottle, Water, Plant
Variable Dimensions

Dalam karya ini saya ingin menyampaikan pesan satir: botol bekas minuman dingin dengan tag rasa original berisi tanah dan gulma. Sepintas tersirat kesan reuse, recycle, dan reduce. Padahal kita tahu jika konsep 3D ini adalah semata-mata hanya upaya ilusif manusia dalam menjaga lingkungan. Karena mau sekreatif apa pun usaha dalam menggunakan kembali botol-botol plastik ini, selama perusahaan-perusaahan besar terus memproduksi sampah plastik, upaya tadi hanya seperti menggaruk kulit yang gatal bukan mencari penyebab gatalnya (jangan-jangan malah gejala awal diabetes). Sementara kondisi air dan tanah kita yang telah dipenuhi mikro plastik perlahan melumpuhkan mikrohabitat yang hidup di dalamnya, termasuk serangga dan gulma. Kalau sudah begitu mungkin kita perlu meredefinisi “rasa original” di tengah segala yang sintetis ini.

Konsep karya ini merupakan bentuk yang telah disederhanakan, terinspirasi dari karya Edwin Roseno yang diambil dari seri “Green Hypermarket”, koleksi Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia. Dengan konsep yang telah disederhanakan. Dipilihnya botol Coca-Cola  merupakan respon atas analisis BFFP (Break Free From Plastic’s) yang menemukan jika Coca-Cola menempati urutan utama sebagai produsen penyumbang sampah plastik terbanyak. Gulma-gulma yang ditanam dalam botol merupakan gulma edible yang dapat ditemukan di sekitar kita:

 

  1. Bayam duri (Amaranthus spinosios)
  2. Daun suruhan (Peperomia pellucida)
  3. Meniran hijau (Phyllanthus niruri L)
  4. Pegagan (Centella asiatica. L)
  5. Semanggi (Marsilea crenata)
  6. Ginseng jawa (Talinum paniculatum)
  7. Krokot (Portulaca oleracea L.)
  8. Anting-anting (Acalypha australis linn)
  9. Jotang kuda (Synedrella nodiflora)

Gulma-Gulma di Halaman

oleh Gelar Prakosa

Sebermulanya, saya mengamati ibu saya matun di halaman rumah. Beliau memisahkan rumput dan gulma yang telah dicabut dalam dua kantung kresek. Kresek berisi gulma tampak penuh, lalu saya bergegas mengikat kedua ujungnya dan hendak membuangnya ke tong sampah. 

Hee! Hee! Sing iku ojo diguak! Kene… kene. Ngawur ae!”

Setengah bingung, saya pun meletakan kembali kantong kresek. Lalu ibu membuka simpulnya dan memasukan segenggam lagi gulma ke dalamnya.“Sik urung mari. Iki ngko ate dimasak”, beliau berkata sembari mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela peace lilly-nya. Kuamati gulma yang beliau kumpulkan dalam kantong kresek itu. Daunnya berwarna hijau segar tumbuh mengelilingi batang dan di puncak batangnya terdapat bunga-bunga kecil berwarna ungu. Usut punya usut, tanaman itu akan dijadikan tumisan untuk pendamping makan malam kami nanti. Kemudian beliau berkata “Itu namanya ginseng Jawa. Enak kalau dioseng pakai irisan bawang sama lombok cilik. Bisa buat obat juga”, Ibuku memang gemar meramban dan dapat mengenali jenis-jenis gulma dan aneka ragam fungsinya. Beliaulah yang merawat dan menghidupkan petak sayur, deretan bunga, dan pagar hidup yang mengelilingi teras rumah kami.

Meski bangunan utama rumah kami tidak terlalu besar, tapi bapak saya senang mempunyai petak-petak tanah yang ditumbuhi aneka pohon dan bunga-bungaan. Beliau sering guyon, Nek omahe penak, awake dewe malih ora seneng lunga-lunga”. Bagi manusia yang suka plesiran seperti saya gagasan ini agaknya sulit dicerna. Namun hal ini pelan-pelan masuk di akal ketika terjadi pandemi di awal tahun tahun 2020. Sebagian besar orang dipaksa untuk berhenti bekerja dan melakukan aktivitasnya sehari-hari di rumah. Rumah sakit dan klinik di mana-mana penuh. Bahkan negara besar seperti Amerika, Cina dan Rusia yang memiliki sarana kesehatan yang kokoh pun kewalahan menghadapi virus ini. Berita tentang kematian, karantina, PHK, dan meningkatnya jumlah pengangguran jadi berita sehari-hari. Sehingga mau tidak mau banyak yang terpaksa kembali ke rumah dan berkegiatan sebatas di seputaran lingkungannya saja, termasuk keluarga kami.

Ya wis, piye maneh? Pandemi di lain sisi bikin kita melek kanan-kiri. Kita jadi ngeh potensi apa saja yang dipunyai lingkungan kita”, kata Bapak sambil memetik kembang kol yang tumbuh berderet di atap rumah kami. Memang di masa pandemi baru terasa kalau sekeliling kita ada banyak potensi, terutama saat kita membahas lahan dan area terbuka. Atap rumah yang semula kosong dan hanya dipakai sebagai tempat menjemur mulai digandakan fungsinya sebagai kebun atap. Dinding kosong di luar rumah selagi masih terkena sinar matahari mulai dijadikan kebun vertikal. Ide kecil ini merambah ke kelompok Karang Taruna dan ibu-ibu PKK. 

Bersama para tetangga mereka mengubah lahan kosong menjadi lahan yang produktif. Tanah yang tadinya hanya sekadar tempat pembuangan sampah mulai ditanami aneka tanaman pangan. Pelan-pelan kami juga belajar memperhatikan keberlangsungan mikrohabitat di kebun baru kami. Beragam tanaman refugia seperti kenikir, mawar, dan kembang kertas kami tanam di pinggir-pinggir kebun. Tanaman ini nantinya akan menjadi tempat berkumpulnya predator bagi hama yang mengganggu tanaman produksi yang kami tanam. Sehingga dengan terpeliharanya serangga predator seperti lebah dan tawon penggunaan pestisida kimiawi tidak lagi diperlukan. Sejalan dengan itu kami jadi belajar mengenal gulma dan rerumputan yang berpotensi jadi obat dan bahan pangan. Semanggi, ginseng jawa, krokot, bayam duri kami ramban untuk kulupan (sayuran rebus yang biasa dimakan bareng aneka sambal) putri malu, tempuyung, anting-anting, rumput teki dan babadotan ternyata ampuh untuk penurun demam, meredakan panas dalam hingga memepercepat pengeringan luka.  

“Jadi ya gitu, tanah ini sebenarnya seperti bank makanan kalau ditanami dan diolah dengan bener. Jadi ya ojo ngeremehin apa yang hidup di tanah. Serangga, suket-suketan sampek cacing ada fungsi ekologisnya sendiri. Makanya kalau di rumah ada tanah, biarkan saja jangan dicor. Nanti air ndak bisa meresap, rumput ndak bisa hidup, serangga dan cacing ndak bisa cari makan. Wong saiki akeh sing males resik-resik, malih lemahe dicor kabeh”,  kelakar Bapak merespons wacana tetangga yang hendak ngecor halaman rumahnya dengan semen. Kemudian mereka berdua tertawa terbahak-bahak. 

Menengok kembali peristiwa pandemi yang lalu setidaknya kita jadi belajar betapa pentingnya lahan dalam kaitan eratnya dengan pangan. Betapa rapuhnya kondisi suatu masyarakat apabila tidak punya akses pada tanah dan pangan. Tidak perlu membicarakan lahan dalam skala besar dulu, karena dari sepetak kebun kecil saja bisa orang jadi tahu proses tanaman tumbuh, berbunga, berbuah hingga tersaji di atas meja.

“Orang nggak tahu ada gulma yang bisa dimakan ya karena nggak terpapar infonya saja. Belum lagi sekarang kan juga apa-apa bisa beli di pasar. Jadi mana ada itu orang yang ngeramban sore-sore begini? Wis ora usum”, pungkas Ibu.