Interview #2 – Gus Dillah
Kamis Malam, kami mengagendakan untuk bertemu dengan Gus Dillah yang merupakan keturunan dari K. H. Abu Mansyur, tokoh penting dalam ritual-proses penanaman 7 pohon beringin di Alun-Alun Tulungagung. Sekitar pukul 8 malam, kami (Benny, Ella, dan Bayu) mengunjungi Kedhaton Tawangsari. Pada pertemuan ini kami mendapatkan cerita (lagi) terkait Ringin Kurung, yang pada beberapa poinnya berbeda dengan apa yang diceritakan oleh Pak Sukriston. Kami tidak akan menentukan cerita mana yang benar. Kami menyepakati cerita-cerita tersebut sebagai lapisan yang saling berkelindan dan terkait dengan berbagai faktor sosial, politik, dan kebudayaan lokal. Dalam ranah kerja kesenian, kami ingin mengelola dan “bermain-main” dengan berbagai cerita dan arsip tersebut.
Thursday Night, we scheduled to meet with Gus Dillah who is a descendant of K. H. Abu Mansyur, an important figure in the ritual-process of planting 7 banyan trees in Tulungagung Square. At around 8pm, we (Benny, Ella and Bayu) visited Kedhaton Tawangsari. At this meeting we got (another) story about Ringin Kurung, which at some points differed from what Mr Sukriston had told us. We will not determine which story is true. We agreed that these stories are intertwined layers that are related to various social, political and local cultural factors. In the realm of artistic work, we want to manage and ‘play’ with these stories and archives.
Kejadian penting yang terkait dengan prosesi penanaman 7 pohon beringin ini adalah Perjanjian Giyanti (1755). Pasca perjanjian Giyanti tersebut, K. H. Abu Mansyur mendapatkan tanah perdikan yaitu wilayah Tawangsari yang mulai dikelolanya pada akhir 1700-an. Dalam beberapa catatan sejarah (daring), Abu Mansyur adalah salah satu tokoh penting yang berjasa mengakhiri perang saudara Mataram Islam (yang dimediasi oleh VOC). Karena jasanya tersebutlah Abu Mansyur mendapatkan hadiah tanah perdikan.
Sebagai catatan, kita mengenal Devide Et Impera (politik pecah belah) yang dilakukan VOC (perusahaan dagang milik Belanda) sebagai strategi yang diterapkan ketika mulai memasuki-menjajah Indonesia (Nusantara).
Abu Mansyur, dituturkan oleh Gus Dillah, bukan sekadar tokoh penting yang membantu menyelesaikan perang saudara, tapi dia juga merupakan salah satu putra dari Amangkurat IV. Cerita ini cukup patriarkis, dimana pada era tersebut terdapat pandangan bahwa istri boleh banyak tapi suami harus satu. Pria adalah bibitnya, wanita adalah tanahnya. Mungkin karena ini kenapa hingga sekarang kita menggunakan istilah “masa subur” untuk masa ovulasi wanita. Jadi, Amangkurat IV memiliki 42 anak, Abu Mansyur adalah anak yang ke-8, Pakubuwono III (Solo) adalah anak ke 10, dan Hamengkubuwono I (Jogja) adalah anak yang ke-18. Terdapat rumor yang mengatakan bahwa ketika Hamengkubuwono IX atau X mengunjungi Tawangsari, Ia melakukan laku ndhodhok sebagai bentuk penghormatan karena Abu Mansyur lebih tua dalam silsilah Kesultanan Mataram (Islam).
Kembali pada cerita Ringin Kurung, pada awal 1800-an, wilayah kecil-kecil di sekitar Tawangsari, diperintahkan oleh Keraton Yogyakarta untuk membuat sebuah kota yang kemudian dikenal sebagai Tulungagung. Dari cerita ini, Tulungagung dibentuk sebagai sebuah kota yang baru, gabungan dari beberapa wilayah kecil seperti Kalangbret, Ringinpitu, Wajak, dan Gondang Kidul. Karena tidak terjadi titik temu dimana pusat kotanya akan berada, maka berdasakan arahan dari Keraton, dipilihlah sebuah rawa untuk dijadikan pusat kota. Abu Mansyur dimintai tolong untuk memimpin proses pembangunan pusat kota tersebut.
Ritual penanaman 7 pohon beringin ini menggunakan Ijuk untuk menyumbat sumber rawanya. Ijuk itu diinjak-injak oleh kebo bule (kerbau putih) hingga hewan itu akhirnya meninggal dan sekaligus menjadi persembahan. Abu Manshur juga dibantu oleh 2 makhluk mitos yaitu Jigang Joyo dan Cluntang Joyo. Tujuh beringin yang ditanam berasal dari 2 tempat yaitu Keraton Yogyakarta dan Ringin Pitu. Tedapat juga cerita tentang Banteng Wulung yang membantu proses itu, tapi tidak disebutkan apa andil atau fungsinya.
Beberapa hal yang berbeda antara cerita dari pak Kriston dan Gus Dillah adalah jumlah makhluk mitos yang membantu Abu Mansyur dalam ritual tersebut dan letak sumber airnya. Menurut pak Kriston terdapat 4 makhluk sedangkan menurut Gus Dillah terdapat 2 makhluk. Jika sumber air menurut pak Kriston berada di barat alun-alun, menurut Gus Dillah berada di timur alun-alun. Gus Dillah menambahkan terdapat lahan tanpa bangunan, hanya ditumbuhi berbagai tanamanan dan rerumputan di sebelah alun-alun yang sekarang. Diapit oleh beberapa bangunan pemerintahan. Barangkali lahan tersebut adalah titik tempat sumber tersebut dahulu berada.
An important event related to the procession of planting these 7 banyan trees is the Giyanti Agreement (1755). After the Giyanti agreement, K. H. Abu Mansyur was granted the land of Tawangsari, which he began to manage in the late 1700s. In some historical records (online), Abu Mansyur is one of the important figures who contributed to ending the Islamic Mataram civil war (mediated by the VOC). It was because of this service that Abu Mansyur was rewarded with a perdikan (free tax and development) land.
For the record, we are familiar with the Devide Et Impera (divide and conquer politics) that the VOC (Dutch-owned trading company) implemented as a strategy when it began to colonise Indonesia (Nusantara).
Abu Mansyur, narrated by Gus Dillah, was not only an important figure who helped resolve the civil war, but he was also one of the sons of Amangkurat IV. The story is quite patriarchal, where in that era there was a view that wives could be many but husbands had to be one. The man is the seed, the woman is the soil. Perhaps this is why we now use the term “fertile period” for a woman’s ovulation period. So, Amangkurat IV had 42 children, Abu Mansyur was the 8th, Pakubuwono III (Solo) was the 10th, and Hamengkubuwono I (Jogja) was the 18th. There is a rumour that when Hamengkubuwono IX or X visited Tawangsari, he did laku ndhodhok (squat walk) as a form of respect because Abu Mansyur was older in the Mataram (Islamic) Sultanate lineage.
Returning to the story of Ringin Kurung, in the early 1800s, small areas around Tawangsari were ordered by the Yogyakarta Palace to create a city that later became known as Tulungagung. From this story, Tulungagung was formed as a new city, a combination of several small areas such as Kalangbret, Ringinpitu, Wajak, and Gondang Kidul. As there was no consensus on where the centre of the city should be located, based on a directive from the palace, a swamp was chosen to be the centre of the city. Abu Mansyur was asked to lead the process of developing the city centre.
The ritual of planting the seven banyan trees uses ijuk (palm fibre) to plug the source of the swamp. The fibre is trampled by a kebo bule (white buffalo) until the animal dies and becomes an offering. Abu Manshur was also assisted by two mythical creatures, Jigang Joyo and Cluntang Joyo. The seven banyan trees planted came from two places, Keraton Yogyakarta and Ringin Pitu. There is also a story about Banteng Wulung who helped the process, but there is no mention of his role or function.
Some things that differ between the stories of Pak Kriston and Gus Dillah are the number of mythical creatures that helped Abu Mansyur in the ritual and the location of the water source. According to Pak Kriston, there are 4 creatures while according to Gus Dillah there are 2 creatures. If the water source according to Pak Kriston is in the west of the Alun-Alun, according to Gus Dillah it is in the east of the Alun-Alun. Gus Dillah added that there is land without buildings, only overgrown with various plants and grasses next to the current square. Flanked by several government buildings. Perhaps this land is the point where the source was once located.
Kejadian penting yang terkait dengan prosesi penanaman 7 pohon beringin ini adalah Perjanjian Giyanti (1755). Pasca perjanjian Giyanti tersebut, K. H. Abu Mansyur mendapatkan tanah perdikan yaitu wilayah Tawangsari yang mulai dikelolanya pada akhir 1700-an. Dalam beberapa catatan sejarah (daring), Abu Mansyur adalah salah satu tokoh penting yang berjasa mengakhiri perang saudara Mataram Islam (yang dimediasi oleh VOC). Karena jasanya tersebutlah Abu Mansyur mendapatkan hadiah tanah perdikan.
Sebagai catatan, kita mengenal Devide Et Impera (politik pecah belah) yang dilakukan VOC (perusahaan dagang milik Belanda) sebagai strategi yang diterapkan ketika mulai memasuki-menjajah Indonesia (Nusantara).
Abu Mansyur, dituturkan oleh Gus Dillah, bukan sekadar tokoh penting yang membantu menyelesaikan perang saudara, tapi dia juga merupakan salah satu putra dari Amangkurat IV. Cerita ini cukup patriarkis, dimana pada era tersebut terdapat pandangan bahwa istri boleh banyak tapi suami harus satu. Pria adalah bibitnya, wanita adalah tanahnya. Mungkin karena ini kenapa hingga sekarang kita menggunakan istilah “masa subur” untuk masa ovulasi wanita. Jadi, Amangkurat IV memiliki 42 anak, Abu Mansyur adalah anak yang ke-8, Pakubuwono III (Solo) adalah anak ke 10, dan Hamengkubuwono I (Jogja) adalah anak yang ke-18. Terdapat rumor yang mengatakan bahwa ketika Hamengkubuwono IX atau X mengunjungi Tawangsari, Ia melakukan laku ndhodhok sebagai bentuk penghormatan karena Abu Mansyur lebih tua dalam silsilah Kesultanan Mataram (Islam).
Kembali pada cerita Ringin Kurung, pada awal 1800-an, wilayah kecil-kecil di sekitar Tawangsari, diperintahkan oleh Keraton Yogyakarta untuk membuat sebuah kota yang kemudian dikenal sebagai Tulungagung. Dari cerita ini, Tulungagung dibentuk sebagai sebuah kota yang baru, gabungan dari beberapa wilayah kecil seperti Kalangbret, Ringinpitu, Wajak, dan Gondang Kidul. Karena tidak terjadi titik temu dimana pusat kotanya akan berada, maka berdasakan arahan dari Keraton, dipilihlah sebuah rawa untuk dijadikan pusat kota. Abu Mansyur dimintai tolong untuk memimpin proses pembangunan pusat kota tersebut.
Ritual penanaman 7 pohon beringin ini menggunakan Ijuk untuk menyumbat sumber rawanya. Ijuk itu diinjak-injak oleh kebo bule (kerbau putih) hingga hewan itu akhirnya meninggal dan sekaligus menjadi persembahan. Abu Manshur juga dibantu oleh 2 makhluk mitos yaitu Jigang Joyo dan Cluntang Joyo. Tujuh beringin yang ditanam berasal dari 2 tempat yaitu Keraton Yogyakarta dan Ringin Pitu. Tedapat juga cerita tentang Banteng Wulung yang membantu proses itu, tapi tidak disebutkan apa andil atau fungsinya.
Beberapa hal yang berbeda antara cerita dari pak Kriston dan Gus Dillah adalah jumlah makhluk mitos yang membantu Abu Mansyur dalam ritual tersebut dan letak sumber airnya. Menurut pak Kriston terdapat 4 makhluk sedangkan menurut Gus Dillah terdapat 2 makhluk. Jika sumber air menurut pak Kriston berada di barat alun-alun, menurut Gus Dillah berada di timur alun-alun. Gus Dillah menambahkan terdapat lahan tanpa bangunan, hanya ditumbuhi berbagai tanamanan dan rerumputan di sebelah alun-alun yang sekarang. Diapit oleh beberapa bangunan pemerintahan. Barangkali lahan tersebut adalah titik tempat sumber tersebut dahulu berada.
An important event related to the procession of planting these 7 banyan trees is the Giyanti Agreement (1755). After the Giyanti agreement, K. H. Abu Mansyur was granted the land of Tawangsari, which he began to manage in the late 1700s. In some historical records (online), Abu Mansyur is one of the important figures who contributed to ending the Islamic Mataram civil war (mediated by the VOC). It was because of this service that Abu Mansyur was rewarded with a perdikan (free tax and development) land.
For the record, we are familiar with the Devide Et Impera (divide and conquer politics) that the VOC (Dutch-owned trading company) implemented as a strategy when it began to colonise Indonesia (Nusantara).
Abu Mansyur, narrated by Gus Dillah, was not only an important figure who helped resolve the civil war, but he was also one of the sons of Amangkurat IV. The story is quite patriarchal, where in that era there was a view that wives could be many but husbands had to be one. The man is the seed, the woman is the soil. Perhaps this is why we now use the term “fertile period” for a woman’s ovulation period. So, Amangkurat IV had 42 children, Abu Mansyur was the 8th, Pakubuwono III (Solo) was the 10th, and Hamengkubuwono I (Jogja) was the 18th. There is a rumour that when Hamengkubuwono IX or X visited Tawangsari, he did laku ndhodhok (squat walk) as a form of respect because Abu Mansyur was older in the Mataram (Islamic) Sultanate lineage.
Returning to the story of Ringin Kurung, in the early 1800s, small areas around Tawangsari were ordered by the Yogyakarta Palace to create a city that later became known as Tulungagung. From this story, Tulungagung was formed as a new city, a combination of several small areas such as Kalangbret, Ringinpitu, Wajak, and Gondang Kidul. As there was no consensus on where the centre of the city should be located, based on a directive from the palace, a swamp was chosen to be the centre of the city. Abu Mansyur was asked to lead the process of developing the city centre.
The ritual of planting the seven banyan trees uses ijuk (palm fibre) to plug the source of the swamp. The fibre is trampled by a kebo bule (white buffalo) until the animal dies and becomes an offering. Abu Manshur was also assisted by two mythical creatures, Jigang Joyo and Cluntang Joyo. The seven banyan trees planted came from two places, Keraton Yogyakarta and Ringin Pitu. There is also a story about Banteng Wulung who helped the process, but there is no mention of his role or function.
Some things that differ between the stories of Pak Kriston and Gus Dillah are the number of mythical creatures that helped Abu Mansyur in the ritual and the location of the water source. According to Pak Kriston, there are 4 creatures while according to Gus Dillah there are 2 creatures. If the water source according to Pak Kriston is in the west of the Alun-Alun, according to Gus Dillah it is in the east of the Alun-Alun. Gus Dillah added that there is land without buildings, only overgrown with various plants and grasses next to the current square. Flanked by several government buildings. Perhaps this land is the point where the source was once located.
Penanaman 7 pohon beringin ini merupakan penanda dimulainya pembangunan pusat kota dapat diartikan juga sebagai pembangunan sebuah kota baru (Tulungagung). Pusat kota yang sebelumnya merupakan rawa, disumbat sumbernya kemudian dilakukan proses pengeringan. Proses ini memakan waktu yang cukup panjang, dari awal 1800-an hingga pusat kota tersebut resmi digunakan sejak tahun 1901.
The planting of the seven banyan trees marked the beginning of the construction of the city centre, which can also be interpreted as the construction of a new city (Tulungagung). The city centre, which had previously been a swamp, had its source plugged and then drained. This process took a long time, from the early 1800s until the city centre was officially used in 1901.
Penanaman 7 pohon beringin ini merupakan penanda dimulainya pembangunan pusat kota dapat diartikan juga sebagai pembangunan sebuah kota baru (Tulungagung). Pusat kota yang sebelumnya merupakan rawa, disumbat sumbernya kemudian dilakukan proses pengeringan. Proses ini memakan waktu yang cukup panjang, dari awal 1800-an hingga pusat kota tersebut resmi digunakan sejak tahun 1901.
The planting of the seven banyan trees marked the beginning of the construction of the city centre, which can also be interpreted as the construction of a new city (Tulungagung). The city centre, which had previously been a swamp, had its source plugged and then drained. This process took a long time, from the early 1800s until the city centre was officially used in 1901.
n.b.
- Pohon beringin yang berada di wilayaha alun-alun sekarang ini bukan lagi pohon yang sama dengan yang ditanam oleh Abu Mansyur. Pohon-pohon tersebut ambruk atau ditebang pada masa-masa setelahnya. Kemudian ditanam lagi ata tumbuh dengan sendirinya. Cerita tentang keberadaan pohon ini akan dibahas dalam catatan tersendiri. Kami mendapat cerita empiris dari Moelyono dan data-arsip tambahan dari Belanda (online)
- Tahun 1993 adalah banjir besar terakhir di wilayah kota Tulungagung. Belum ada banjir besar lagi setelah aliran sungai Ngrowo dibalik. Ini terkait dengan rehabilitasi Terowongan Niyama pada tahun 1980-an.
- Jigang Joyo makhluk mitos yang membantu Abu Mansyur, kini tinggal di area Telaga Buret. Sedangkan Cluntang Joyo, tinggal di lokasi lain tak jauh dari Telaga Buret.
p.s.
- The banyan trees in the alun-alun area today are no longer the same trees that were planted by Abu Mansyur. They fell down or were cut down in later times. Then they were planted again or grew by themselves. The story of the existence of this tree will be discussed in a separate note. We got the empirical story from Moelyono and additional data from the Netherlands (online).
- The year 1993 was the last major flood in the Tulungagung city area. There has been no major flooding since the Ngrowo River was reversed. This is related to the rehabilitation of the Niyama Tunnel in the 1980s.
- Jigang Joyo, the mythical creature who helped Abu Mansyur, now lives in the Telaga Buret area. Cluntang Joyo, meanwhile, lives in another location not far from Telaga Buret.
Menelusuri cerita Ringin Kurung (penanaman 7 pohon beringin) ini berkaitan erat dengan babad Tulungagung. Kami menemukan banyak lapisan cerita yang saling tumpang tindih. Seperti yang dikatakan di awal, kami tidak ingin terjebak menemukan mana yang paling benar, karena kami merasa banyak faktor yang mempengaruhinya. Tapi kami senang bisa menemukan cerita-cerita yang saling melengkapi dan memperkaya pengetahuan umum kami baik tentang Tulungagung maupun spesifik tentang Ringin Kurung.
Tracing the story of Ringin Kurung (the planting of 7 banyan trees) is closely related to the Tulungagung chronicles. We found many layers of overlapping stories. As said at the beginning, we didn’t want to get caught up in finding which one was the most correct, because we felt that many factors influenced it. But we were happy to find stories that complemented each other and enriched our general knowledge both about Tulungagung and specifically about Ringin Kurung.
– Benny Widyo