Field Research #3 – Dam2an
5 April 2023 – Day 1
Untuk mengimbangi riset lapangan sebelumnya yang lebih dominan mengunjungi situs yang terkesan sakral dan terkait erat dengan mitos, maka kali ini kami mencoba menelusuri beberapa dam yang ada di Tulungagung. Selama 2 hari kami mengunjungi total 10 dam. Sebagian besar dam ini dibangun setelah masa kemerdekaan, meskipun beberapa sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Kenapa mengimbangi? Karena pembangunan kanal, pelebaran sungai, hingga keberadaan pintu-pintu air ini menjadi siasat praktis dan saintifik untuk mengatasi permasalahan banjir di Tulungagung.
Pada hari pertama, kami berempat (Benny, Ella, Bayu, dan Vira) dengan menggunakan sepeda motor melakukan perjalanan mengunjungi beberapa dam di wilayah utara dan barat pusat kota Tulungagung. Dam Majan menjadi yang pertama kami kunjungi. Jika diperhatikan melalui peta, maka dam ini berada di paling utara (untuk wilayah dataran rendah). Berada dalam aliran Sungai Ngrowo yang aliran airnya mengarah ke selatan. Dam ini memiliki fungsi vital untuk mengontrol debit air di wilayah kota Tulungagung. Saat kami mengunjungi Dam Majan, tampak beberapa orang sedang memancing. Di sepanjang sungai juga terlihat alat-bangunan sederhana konstruksi warga yang menggunakan jaring untuk menangkap ikan. Tak luput sampah-sampah berserakan, mengambang, hingga tersangkut di pintu air.
Setelah dari Dam Majan, kami melanjutkan perjalanan ke Dam Tiudan. Dam ini cukup besar, pun segar karena dikelilingi pepohonan dan persawahan yang hijau. Menurut Ella ini menjadi salah satu tempat yang bersih, di sungai atau pintu airnya tidak banyak sampah. Mungkin kesan ini juga muncul karena aliran sungai pertama yang kami kunjungi bersama adalah di Terowongan Niyama yang salah satu pintu terowongannya digunakan untuk mengelola sampah. Dam ini menjadi titik pertemuan beberapa sungai kecil, termasuk air dari Waduk Wonorejo dan dari daerah Pagerwojo (kecamatan dataran tinggi di Tulungagung). Kami mengunjungi dam ini sore hari, nampak beberapa penjual makanan, minuman, dan camilan sedang bersiap untuk berjualan. Beberapa orang juga mulai berdatangan menghabiskan waktu sore sebelum berbuka puasa.
Tujuan selanjutnya adalah Dam Branjang yang lokasinya berada di ujung jalan bebatuan. Lokasi ini menjadi dam dengan elevasi tertinggi yang kami kunjungi hari itu. Jika dilihat di peta, aliran air dari dam ini berasal dari perbukitan di wilayah Gondang. Dam ini memiliki penampungan air seperti waduk kecil dengan air berwarna coklat. Aliran air yang keluar dari salah satu pintu air tidak begitu deras. Kesan yang ditimbulkan dari dam ini cukup menenangkan, meskipun ada sedikit rasa ngeri. Mungkin dipengaruhi juga oleh awan mendung sore itu dan lokasi dam yang sudah berada di ujung jalan.
Turun dari Dam Branjang kami menuju Dam Paingan. Dam ini tidak jauh dari jalan provinsi. Pintu air dam ini juga digunakan sebagai jembatan untuk pemotor yang hendak melintasi sungai. Aliran sungai dam ini berasal dari Dam Tiudan. Beberapa hari sebelumnya mbak Monis menunjukkan foto sebuah dam yang kami perkirakan merupakan Dam Paingan ini. Terdapat penanda tahun 1969 sebagai waku rehabilitasi jadi kemungkinan Dam ini sudah ada beberapa tahun sebelumnya atau sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Melanjutkan perjalanan, lokasi selanjutnya yang kami kunjungi adalah Monumen Dam Cluwok. Dam ini sudah tidak aktif lagi, terdapat penanda tahun 1931 sebagai penanda tahun dibangunnya dam ini. Saat itu menjadi Dam Cluwok menjadi dam terbesar yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Dari beberapa sumber daring dan papan informasi yang terdapat di sana, dam ini memiliki tinggi total 7 meter dan panjang 50 meter. Dam ini beroperasi efektif hingga tahun 1980-an dan berhenti total pada tahun 1986. Kelak kami ketahui ini berkaitan dengan rehabilitasi terowongan niyama dan sistem kanal bernama Parit Agung.
Hampir mendekati Maghrib, kami menuju pemberhentian terakhir yaitu Damser atau Dam Serut. Melewati jalan ‘offroad’ kami sampai di Dam Serut tepat sebelum Maghrib. Sembari menunggu waktu berbuka, kami menikmati suasana sore itu. Karena dikelilingi oleh persawahan, pandangan kami luas. Kami bisa melihat kontur Tulungagung yang dikatakan seperti sebuah cekungan atau mangkok. Sejauh mata memandang, dan memutar, Tulungagung dikelilingi oleh perbukitan. Sejenak cukup jelas kenapa Tulungagung memiliki sejarah panjang dan berulang tentang bagaimana kita dituntut untuk hidup berdampingan dengan air, tergenang maupun mengalir.
Because in previous field research we predominantly visited sites that seemed sacred and closely related to myths, this time we tried to explore several dams in Tulungagung. Over two days we visited a total of 10 dams. Most of these dams were built after the independence period, although some have existed since the Dutch colonial era. Why do we need to visit these dams? Because the construction of canals, the widening of rivers, and the existence of these water gates are practical and scientific tactics to split the floods in Tulungagung.
On the first day, four of us (Benny, Ella, Bayu and Vira) rode a motorbike to visit several dams in the north and west of Tulungagung city centre. Dam Majan was the first one we visited. If you look at the map, this dam is located in the northernmost part (for lowland areas). It is located within the Ngrowo River, which flows southwards. This dam has a vital function to control water debit in the Tulungagung city area. When we visited Dam Majan, some people were fishing. Along the river, you can also see simple construction tools of residents who use nets to catch fish. Garbage was scattered, floating, and stuck in the sluice gates.
After Dam Majan, we continued our trip to Dam Tiudan. This dam is quite large, and it is also fresh because it is surrounded by trees and green rice fields. According to Ella, this is one of the cleanest places, with not much rubbish in the river or the water gates. Perhaps this impression also comes from the fact that the first river we visited together was the Niyama Tunnel, where one of the tunnel entrances is used for waste management. This dam is the meeting point of several small rivers, including water from Dam Wonorejo and from the Pagerwojo area (a highland district in Tulungagung). When we visited the dam in the afternoon, there were several vendors selling food, drinks and snacks. Some people also began to arrive to spend the afternoon before break the fastng.
The next destination was the Dam Branjang located at the end of the rocky road. This was the highest dam we visited that day. If you look at the map, the water flow from this dam comes from the hills in the Gondang area. This dam has a water reservoir like a small reservoir with brown water. The flow of water coming out of one of the sluice gates is not so heavy. The impression caused by this dam is quite calming, although there is a slight sense of horror. Perhaps it was also influenced by the overcast clouds that afternoon and the location of the dam at the end of the road.
After leaving Dam Branjang, we headed to Dam Paingan. This dam is not far from the provincial road. The water gate of this dam is also used as a bridge for motorists who want to cross the river. The river flow of this dam comes from Dam Tiudan. A few days earlier, Monis showed us a photo of a dam that we assumed was Dam Paingan. There is a marker of 1969 as the time of rehabilitation, so it is possible that this dam had existed several years earlier or since the beginning of Indonesian independence.
Continuing our trip, the next location we visited was the Dam Cluwok Monument. This dam is no longer active, there is a 1931 as a marker of the year this dam was built. At that time, Dam Cluwok became the largest dam built during the Dutch colonial period. From several online sources and the information board located there, this dam has a total height of 7 metres and a length of 50 metres. The dam operated effectively until the 1980s and stopped completely in 1986. We later learnt that this was related to the rehabilitation of the Niyama tunnel and canal system called Parit Agung and Parit Raya.
Almost Maghrib time, we headed to our last stop, Damser or Dam Serut. Passing through the ‘offroad’ road, we arrived at Dam Serut just before Maghrib. While waiting for the time to break the fasting, we enjoyed the atmosphere that afternoon. Being surrounded by rice fields, our view was wide. We could see the contours of Tulungagung, which is said to be like a basin or bowl. As far as the eye can see, and turning, Tulungagung is surrounded by hills. For a moment it was clear why Tulungagung has a long and repetitive history of how we are required to coexist with water, stagnant or flowing.
6 April 2023 – Day 2
Hari kedua, berganti tim menjadi 6 orang (Benny, Ella, Tika, Ajus, Bayu, dan Riduwan) dengan menggunakan mobil kami mengunjungi 4 Dam di wilayah timur dan tenggara Tulungagung. Pada hari sebelumnya kami menggunakan motor karena beberapa dam yang dikunjungi aksesnya hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua.
Dam pertama yang kami kunjungi di hari kedua ini adalah Dam Buntaran yang berada di wilayah kecamatan Rejotangan. Ella, dalam catatan diary-nya, menyebutkan bawah gemuruh air yang mengalir melalui bendungan ini terasa sangat damai, seperti white noise. Kuat tetapi tidak mengintimidasi karena arusnya yang kecil. Ella merasa situasi seperti ini seperti berada dekat dengan sesuatu yang begitu kuat, tapi alih-alih menakutnya, perasaan yang dihadirkan adalah menenangkan dan melindungi.
Selanjutnya kami menuju Dam Rejotangan. Dam ini memiliki lebih banyak cabang, dari aliran utama terbagi ke kanal-kanal yang lebih kecil. Kedua dam yang kami kunjungi ini juga memiliki fungsi untuk mengalirkan air ke sawah-sawah warga. Nampak beberapa catatan dalam papan informasi, seperti seberapa besar debit air yang dibutuhkan-dialirkan ke sawah warga.
Tujuan berikutnya adalah Dam Karangtalun yang berada di wilayah kecamatan Kalidawir. Dam ini berada di ujung jalan kampung, kami memarkirkan mobil di halaman rumah warga. Pintu air berupa jembatan dengan tinggi sekitar 6 meter. Di tepi sungai terdapat wilayah yang tidak teraliri, sehingga rumput-rumput tumbuh subur. Sedikit di selatan pintu air terdapat cabang sungai, lebih tepatnya seperti pertigaan, dan nampak beberapa orang sedang memancing di sana. Dilihat dari area hijau rerumputan di sungai tersebut, debit air dari sungai ini tidak besar. Kesan yang dihadirkan menyegarkan dan menenangkan karena memiliki area rerumputan yang bisa digunakan untuk bersantai atau berlarian.
Dam terakhir yang kami kunjungi adalah Dam Belanda atau dikenal juga dengan Embung Banyu Urip. Lokasi dam ini menjadi yang tertinggi dari dam lain yang kami kunjungi hari itu. Suasananya sangat tenang, aliran airnya tidak begitu kencang, malah lebih terkesan diam. Melalui beberapa jejak digital, embung ini dibangun-rehabilitasi sekitar 2 tahun yang lalu. Ella mencatat dam ini terkesan seperti titik akhir daripada titik tunggu untuk mengalirkan air. Kesan yang dipertegas dengan adanya pemakaman di dekatnya, “benar-benar sebuah akhir”, catat Ella.
The second day, the team changed to 6 people (Benny, Ella, Tika, Ajus, Bayu, and Riduwan) using a car. We visited 4 dams in the east and southeast of Tulungagung. On the previous day we used motorbikes because some of the dams visited were only accessible by two-wheeled vehicles.
The first dam we visited on the second day was Dam Buntaran, located in Rejotangan sub-district. Ella, in her diary, mentions that underneath the roar of the water flowing through this dam, it feels very peaceful, like white noise. Powerful but not intimidating due to the small current. Ella felt that this situation was like being close to something so powerful, but instead of frightening her, the feeling was calming and protective.
Next we headed to Dam Rejotangan. This dam has more branches, from the mainstream divided into smaller canals. The two dams we visited also have a function to water the residents’ rice fields. There were some notes on the information board, such as how much water is needed to be channelled to the residents’ rice fields.
The next stop was Dam Karangtalun, which is in the Kalidawir sub-district. This dam is at the end of the village road. We parked the car in the yard of a resident’s house. The water gate is a bridge about 6 metres high. On the banks of the river there is an area that is not irrigated, so the grass grows well. A little south of the water gate is a branch of the river, more like a fork in the river, and there were some people fishing there. Based on the green area of grass in the river, the water debit from this river is not large. The impression it gives is refreshing and calming as it has a grassy area that can be used for relaxing or running around.
The last dam we visited was Dam Belanda, also known as Embung Banyu Urip. The location of this dam is the highest of the other dams we visited that day. The atmosphere is very calm, the water flow is not so fast, instead it seems more silent. Through some digital traces, this embung was rehabilitated about 2 years ago. Ella noted that this dam seemed like an endpoint rather than a waiting point for water to flow. An impression emphasised by the nearby cemetery, “really an end”, Ella notes.
– Benny Widyo