First Week Notes — Melting Spaces, Hacking Relations
Selasa, 21 Maret 2023 menjadi hari pertama kami bertemu secara fisik dengan Ella, seniman residensi Gulung Tukar untuk proyek The Trees & The Wires.
Sekitar pukul 10 pagi, Rombongan 3 orang: Benny, Riduwan, dan Catur berangkat dari Gutuhaus. Hari yang panas menyambut kedatangan bulan Ramadhan, pendingin mobil tak mampu bertahan. Kami berhenti beberapa kali untuk mencari pendingin tenggorokan dan mengisi perut yang sedikit keroncongan. Ella sampai pukul 7 malam, kami berangkat lebih awal karena ingin mampir ke Sedulur Tunggal Kopi, yang direkomendasikan oleh teman-teman Biennale Jatim ketika berkunjung ke Gutuhaus beberapa minggu sebelumnya. Benny menghubungi Ayos dan Deden, janji bertemu di STK Rewin menjadi opsi terbaik dari sisi jarak untuk semuanya, lokasinya hanya beberapa menit dari Bandara Juanda. Seperti selayaknya, pertemuan yang jarang terjadi adalah momentum yang tepat untuk membahas apapun langsung pada intinya. Tak semuanya hal serius, sesekali tentang skena dan gosip-gosipnya. Di tempat itu juga rombongan penjemput bertambah satu orang. Bayu yang sedang di Surabaya tak bisa kami tegakan pulang ke Tulungagung sendirian.
Tak lama selang adzan Maghrib berkumandang, setelah ibadah salat ditunaikan, kami berpamitan dan berangkat menuju ke Juanda. Lalu lintas ramai lancar, tak sampai 30 menit kami sampai di Juanda. Sekitar 30 menit juga waktu yang kami bunuh untuk akhirnya bertemu dengan seniman yang baru saja menjalani 35 jam perjalanan dari dari Frome ke London, transit di Ho Chi Minh City, masuk Indonesia melalui Jakarta kemudian melanjutan penerbangan ke Surabaya. Ella Marie Chedburn, dengan scarf di kepala yang jadi ciri khasnya, berikut sebuah koper yang ditarik dan tas yang menggantung di punggungnya, tak nampak letih meski baru saja melalui perjalanan yang panjang. Tak banyak berbincang di pintu kedatangan, kami langsung menuju mobil. Lebih baik segera pulang supaya Ella bisa bertemu dengan ranjang dan beristirahat dengan lengang. Selama perjalanan kami belum banyak mengobrol, hanya sesekali pertanyaan-pertanyaan canggung terlontarkan, selebihnya hanya suara musik yang konsisten memecah keheningan. Baru kami tahu kemudian, mungkin Ella waktu itu cukup tegang. Ia tak punya kontak sama sekali di negara orang, dan langsung menghabiskan 3.5 jam di mobil bersama 4 orang asing, hahaha.
Tuesday, 21 March 2023 was the first day we physically met Ella, Gulung Tukar’s artist-in-residence for The Trees & The Wires project.
At around 10am, a group of 3 people: Benny, Riduwan, and Catur leave Gutuhaus. On a hot day welcoming the arrival of the month of Ramadan, the car’s coolant could not survive. We stopped several times to look for throat coolers and fill our slightly rumbling stomachs. Ella arrives at 7pm, but we leave early because we want to stop by Sedulur Tunggal Kopi, which was recommended by our Biennale Jatim friends when they visited Gutuhaus a few weeks earlier. Benny contacted Ayos and Deden, and an appointment at STK Rewin was the best option in terms of distance for everyone, located just a few minutes from Juanda Airport. As it should be, the rare meeting was the perfect moment to discuss anything straight to the point. Not everything is serious, occasionally about the scene and its gossip. At that place, the pick-up group also increased by one person. Bayu, who was in Surabaya, we could not insist on returning to Tulungagung alone.
Shortly after the Maghrib call to prayer, we said goodbye and set off for Juanda. The traffic was smooth and we arrived at Juanda in less than 30 minutes. About 30 minutes was also the time we took to finally meet the artist who had just undergone a 35-hour journey from Frome to London, transiting Ho Chi Minh City, entering Indonesia via Jakarta and then continuing the flight to Surabaya. Ella Marie Chedburn, with her trademark scarf on her head, a suitcase pulled and a bag slung over her back, doesn’t look tired despite the long journey. Without much conversation at the arrival gate, we head straight for the car. It’s better to get home soon so Ella can find her bed and take a rest. During the journey, we didn’t talk much, only occasionally asking awkward questions, the rest of the time only the sound of music consistently broke the silence. We realised later that Ella was probably quite tense at the time. She had no contacts at all in a foreign country, and immediately spent 3.5 hours in a car with 4 strangers, hahaha.
Sekitar tengah malam, kami sampai di Tulungagung. Tak langsung ke Gutuhaus, kami mampir membungkus makan malam. Pilihan malam itu jatuh kepada festival jajanan sate di perempatan Tamanan. Mari mencatat sate ayam madura sebagai makanan pertama yang dimakan Ella di Tulungagung, Indonesia. Sesampainya di Gutuhaus pun kami tak mengobrol banyak, mulut-mulut sibuk menggigit, menarik, dan mengunyah daging ayam lengkap dengan bumbu kacangnya. Kami tak begitu mengingat apa obrolan kami malam itu, mungkin beberapa terkait bulan Ramadhan, dan Benny memberitahu Ella untuk bersiap akan suara adzan di sekitar jam 4 pagi. Keputusan yang tepat untuk membuat Ella bersiap, meskipun dia akhirnya harus bertahan beberapa hari kemudian hingga mulai terbiasa.
Around midnight, we arrived in Tulungagung. We didn’t go straight to Gutuhaus, but stopped to pack dinner. The choice that night fell on the satay culinary festival at the Tamanan intersection. Let’s note the madura chicken satay as the first food Ella ate in Tulungagung, Indonesia. Arriving at Gutuhaus, we didn’t chat much, our mouths busy biting, pulling and chewing the chicken meat complete with peanut sauce. We don’t really remember what we talked about that night, probably some Ramadan-related stuff, and Benny told Ella to get ready for the call to prayer at around 4am. It was a good decision to get Ella ready, although she did end up having to endure a few days later to get used to it.
Hari pertama, obrolan perkenalan baru benar-benar dimulai. Kami saling menceritakan bagaimana kehidupan berjalan di sekitarnya. Kesepahaman dibangun dari komparasi sosial budaya ini. Sedikit siang, Benny dan Ella berlanja di Supermarket terdekat. Kali ini Ella mencoba hal baru lagi dalam hidupnya: mengendarai motor. Sangat kaku dan tegang bahkan hingga 15 hari kemudian. Orang bilang, selalu ada yang pertama untuk segalanya, dan pada hari pertama ini Ella banyak mencoba hal baru. Mulai dari WC duduk, menyiram tanpa flush, hingga mandi dengan air dari bak mandi, tanpa shower.
The first day, the new introduction chat really started. We told each other how life went around us. An understanding was built from this socio-cultural comparison. In the afternoon, Benny and Ella went shopping at the nearest supermarket. This time Ella tried something new again in her life: riding a motorbike. She was very stiff and tense even 15 days later. People say there is always a first time for everything, and on this first day Ella tried many new things. From using sit toilet, to flushing without a flush, to bathing with water from the bathtub; without a shower.
Kamis, hari libur bagi #WarGulGul, kami memanfaatkan hari ini untuk melakukan trip pertama. Tujuannya Waduk Wonorejo. Lokasi ini menjadi permulaan yang tepat, untuk pelan-pelan masuk pada proyek yang akan kami kerjakan bersama. Bendungan terluas se-Asia Tenggara ini menjadi siasat termutakhir bagi Tulungagung untuk menghalau banjir. Selama perjalanannya Ella juga bisa mengamati berbagai ruang sosial dan spasial yang ada di Tulungagung. Ada beberapa pemberhentian, 3 rekomendasi situs yang pertama muncul adalah dari Agustin yang beberapa waktu terakhir senang menghabiskan waktu di tempat fancy dengan tema alam. Menyegarkan sekaligus fotogenik. Hari ini juga menjadi hari pertama kami menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan tahun ini. Jebakan muncul di permberhentian terakhir, Benny mengajak rombongan menuju Tumpak Bledek. Sebuah situs tambang batu yang konon dulu batuannya digunakan sebagai material untuk membangun bendungan Wonorejo. Karena musim penghujan yang masih terus berjalan, Tumpak Bledek dipenuhi genangan air. Seperti miniatur rawa-rawa yang bisa digunakan untuk mengimajinasikan Tulungagung tempo dulu.
Hari berikutnya tidak kami agendakan bepergian kemanapun, karena dirasa Ella masih memerlukan waktu lebih untuk beristirahat dan beradaptasi. Baru keesokan harinya, Sabtu, 25 Maret 2023, kami melakukan pendakian singkat ke Candi Dadi yang berada di puncak bukit. Karena Ella masih belum terbiasa dengan adzan Subuh, ia biasanya terbangun sekitar pukul 4 pagi dan baru (ter)tidur lagi pukul 7 atau 8. Salah satunya karena alasan tersebut, kami memilih melakukan pendakian pagi. Sekitar pukul 5, setelah salat subuh dan tadarus, Benny; Ella; dan Bayu berangkat. Perjalanan kami pagi itu cukup dingin dan basah. Kabut membersamai perjalanan kami, bahkan hingga turun kembali. Untungnya sinar matahari pagi tetap bisa kami nikmati ketika sampai di Candi Dadi. Tak hanya pertama bagi Ella, ternyata mendaki ke Candi Dadi juga pengalaman pertama bagi Bayu. Dia nyaris membatalkan puasa hari itu.
Malam harinya, kami mengundang teman-teman dan kerabat Gutu untuk potluck party untuk menyambut kedatangan Ella. Sejak siang, sepulang dari Candi Dadi, kami mulai sibuk berbelanja daging, sayur-sayuran, bumbu, dan beberapa bahan lain sebagai makanan utamanya. Sudah jadi kebiasaan kami untuk menyiapkan daging bakar sebagai modal awal bagi potluck party. Kemudian, karena malam sebelumnya Ella bercerita pernah ke Jepang dan mencoba makan gyoza, maka Tika dan Sofia memutuskan mencoba membuat gyoza juga hari itu.
Teman-teman dari dalam dan kota sekitar Tulungagung turut hadir. Mereka membawa berbagai camilan dan minuman. Obrolan ringan dan hangat menghiasi malam itu. Kalau sudah berkumpul seperti ini, kami mengobrol hingga lupa waktu. Malam itu kami menemukan bahwa Ella pun memiliki rasa sungkan, seperti kebanyakan dari kita. Dia awalnya sungkan untuk pamit undur diri karena teman-teman sedang asik mengobrol. Benny yang biasa menanyainya, sedang sibuk ngobrol dengan orang lain. Akhirnya karena tak kuat lagi menahan kantuk, dia pamit mengundurkan diri sekitar tengah malam.
Thursday, a day off for #WarGulGul, we used this day to make our first trip. The destination was Wonorejo Dam. This location is the right start, to slowly enter the project that we will work on together. The widest dam in Southeast Asia is the latest strategy for Tulungagung to split floods. During her journey, Ella was also able to observe various social and spatial spaces in Tulungagung. There were several stops, the first 3 site recommendations that came up were from Agustin who has recently enjoyed spending time in fancy places with a nature theme. It’s both refreshing and photogenic. Today is also our first day of fasting in the month of Ramadan this year. At the last stop, Benny invites the group to Tumpak Bledek, a rock quarry site that is said to have been used as material to build the Wonorejo dam. Due to the ongoing rainy season, Tumpak Bledek was filled with puddles. It looks like a miniature swamp that can be used to imagine Tulungagung in the past.
In the evening, we invited Gutu’s friends and relatives for a potluck party to welcome Ella. Since noon, after returning from Candi Dadi, we had been busy shopping for meat, vegetables, spices, and some other ingredients for the main meal. It is our custom to prepare grilled meat as a starting point for the potluck party. Then, because the night before Ella told us that she had been to Japan and tried eating gyoza, Tika and Sofia decided to try making gyoza that day too.
Friends from within and around Tulungagung also attended. They brought various snacks and drinks. Light and warm chatter adorned the evening. When we gather like this, we chat until we forget the time. That night we found out that Ella, like most of us, has a sense of reluctance. She was initially reluctant to say goodbye because her friends were busy chatting. Benny, who used to ask her questions, was busy chatting with other people. Finally, unable to resist sleepiness, she said goodbye around midnight.
– Benny Widyo