Pengarsipan menjadi salah satu ranah kerja artistik yang terpinggirkan. Posisinya yang penting dalam medan seni tidak serta merta menjadikan kerja pengarsipan banyak dilakukan. Farah Wardhani (2019) menyebutkan bahwa cukup sulit menemukan sumber daya dalam sejarah seni asia tenggara, bahkan dalam era internet hari ini. Pola pengarsipan kelembagaan peninggalan kolonial bisa jadi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan praktik mencatat dan mendokumentasikan tidak masif dilakukan. Padahal, Indonesia memiliki budaya tutur yang kuat, cerita-cerita tentu bisa dikelola dalam berbagai bentuk medium dan ditelusuri dalam beragam metode. Sayangnya, ruang-ruang bagi praktik pengarsipan tidak diproduksi dengan membawa nilai-nilai kesetaraan. Sejarah adalah milik pemenang menjadi ujaran yang usang dan rasanya tidak perlu dikonsumsi ulang. Tiap praktik artistik memiliki hak yang sama untuk dicatat dan dikelola di masa mendatang.

Selama satu dekade terakhir, ketertarikan publik dan praktik artistik dalam merespons arsip telah menjamur (Birkin, 2015). Arsip berikut ragam bentuk; medium; dan konteksnya, menjadi salah satu objek yang direproduksi dan terus direkonstruksi melalui praktik artistik. Proses memaknai ulang arsip ini meleburkan posisi arsip sebagai produk akhir. Arsip bukanlah benda mati, ia hidup dan terus berkembang sesuai dengan tindakan agen sebagai subjek aktif yang terikat oleh relasi sosial budayanya. Begitupun praktik pengarsipan yang nampak tumbuh subur pada era digital saat ini. Lukisworo dan Sutopo (2021) menyebutkan bahwa internet menjadi ruang baru yang relatif terbuka, cair, dan menawarkan beragam sumber serta relevan dengan kedinamisan budaya kaum muda. Sejalan dengan Bennett (2004a: 168), Ia melihat bahwa kaum muda mampu menggunakan internet sebagai sarana partisipasi kultural yang semakin meningkatkan self-constructed and reflexive forms of ‘subcultural’ identity.

Terkait subkultural-pascasubkultural, Ferreira (2016) melihat pergeseran resistensi menjadi eksistensi dalam budaya kaum muda. Namun, resistensi tidak menguap begitu saja tapi menyublim dalam aktivitas individual atau kolektif sebagai subjek aktif dalam mengkonstruksi identitas. Berangkat dari praktik mendokumentasikan keseharian, praktisi seni budaya hari ini memantik kesadaran pengelolaan arsipnya. Dengan cara-cara yang cair, kolaboratif, dan eksperimental, praktik artistik hari ini dicatat dalam ruang-ruang virtual yang terbuka aksesnya. Semua saling terbaca. Setiap praktik penting untuk dicatat, setiap arsip membuka kemungkinan untuk dikelola. Benturan infrastruktur fisik tidak lagi jadi soal ketika ruang virtual yang saling terkoneksi secara global ini diproduksi. Internet seakan menjadi perpustakaan luas tanpa batas. Setiap arsip dapat diakses dan dikustomisasikan dalam waktu yang relatif singkat.

Terlebih pada masa pandemi yang memantik banyak perubahan terutama terkait dengan pemutakhiran kerja-kerja artistik dalam jaringan. Internet menjadikan segala praktik kerja seni budaya menjadi lebih inklusif. Terbuka dan setara, accessible untuk semua. Merespons kondisi tersebut, berikut kegelisahan terhadap minimnya arsip kesenian di Tulungagung, Gulung Tukar pada tahun 2020 menginisiasi proyek pengarsipan dan kolaborasi performans berjudul Buka Kunci, Tangkap Layar. Proyek ini mengajak secara terbuka praktisi seni budaya di Tulungagung untuk melakukan kerja pengarsipan beragam praktik artistik, terutama yang ada di lingkungan terdekatnya. Terdapat 12 arsip seni budaya Tulungagung dengan beragam subjek dan medium dikerjakan dalam proyek ini.

Salah satu proyek arsip tersebut adalah tentang maestro kentrung Tulungagung, Mbok Gimah. Proyek pengarsipan ini dikerjakan oleh Yayak Priasmara dari Sanggar Seni Gedhang Godhok. Arsip ini berbentuk buku dengan judul “Legenda Baru Klinting versi Lakon Kentrung Mbok Gimah”. Arsip ini kemudian pada tahun 2021-2022 ini direspons oleh Aprilia El Shinta ke dalam bentuk buku ilustrasi berjudul “Astaga Naga!”. Alih media arsip tentang legenda Baru Klinting ini telah berkembang, audiensnya meluas. Selayaknya arsip seni yang mencatat praktik kesenian, keterbukaan akses terhadap arsip ini memberikan kemungkinan bagi arsip itu sendiri untuk terus hidup dan tidak pernah terlupakan. Untuk menandai proses sekaligus mengupayakan kerja-kerja pengarsipan terus dilakukan dan dikembangkan, Gulung Tukar menginisiasi program berjudul Tutur Karya, Melawan Lupa. Program ini akan menerbitkan secara mandiri kedua buku tentang legenda Baru Klinting di atas. Pertunjukan kentrung dengan lakon tersebut akan disajikan bersamaan dengan peluncuran dan diskusi buku.